SKETSA - Agni dan Baiq Nuril menjadi kesekian di antara penyintas lainnya. Nama keduanya kembali menguak kasus pelecehan seksual yang seolah tak kunjung ada habisnya. Ironisnya, kini kedua perempuan ini tengah berjuang untuk mencari bentuk keadilan atas tindakan asusila yang dialami.
Namun sayang, tak semua kasus para penyintas terselesaikan hingga tuntas. Kebanyakan di antaranya hanya melambung untuk akhirnya meluap dan terlupakan. Fenomena ini menjadi salah satu alasan bagi beberapa mahasiswa Unmul untuk tergerak melakukan aksi solidaritas melawan pelecehan dan kekerasan seksual pada Rabu, (14/11) lalu.
Sore itu, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam agenda Selasa Ilmiah berkumpul di simpang tiga kampus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Di sana mereka bersuara melalui orasi yang digaungkan. Selasa Ilmiah dibentuk atas inisasi gabungan dari beberapa organisasi internal maupun eksternal Unmul untuk membangun ruang diskusi dan kampanye solidaritas. Baru berjalan dua minggu, Selasa Ilmiah lahir sebagai bentuk kepedulian dan keprihatinan.
“Banyak isu dan masalah yang lalu lalang tanpa solusi. Kita tidak bisa lagi berharap pada penyelesaian lewat mekanisme penitipan nasib, seperti mediasi dan lobi yang terus menerus dilakukan tanpa ada hasil memuaskan. Perubahan harus dilakukan oleh gerakan atau akar rumput itu sendiri,” terang Diyat, salah satu mahasiswa Unmul yang juga merupakan anggota dari Lingkar Studi Kerakyatan (LSK) saat ditemui usai aksi.
Aksi hari itu diikuti oleh BEM FISIP, Himpunan mahasiswa FISIP, sedang eksternal Unmul berasal dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat FISIP Unmul, Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), Jaringan Kerja Mahasiswa Kerakyatan (JKMK)-Federasi Mahasiswa Kerakyatan (FMK), Lingkar Studi Kerakyatan (LSK), Sekolah Pembebasan Perempuan dan Anti Seksisme (Spark), dan Embrio Perempuan Kemerdekaan (Empeka).
Tema yang diangkat dalam mimbar bebas tersebut adalah tentang pelecehan seksual yang saat ini tengah hangat dibicarakan.
“Ini untuk mendukung penyintas. Selain itu karena memang isunya sedang hangat. Isu kekerasan seksual ini juga tidak pernah terselesaikan secara mengakar,” ujarnya.
Ditambahkan Diyat, dengan gerakan solidaritas bisa menguatkan penyintas dalam menguatkan posisinya. Gerakan solidaritas ini juga membuat korban-korban yang belum berani berbicara untuk membongkar kejahatan yang pernah mereka terima. Dengan menunjukan bahwa ada yang peduli dan berpihak kepada penyintas.
Melalui Selasa Ilmiah, puluhan mahasiswa ini menyerukan empat poin. Pertama, pecat dosen dan mahasiswa pelaku kekerasan seksual. Kedua, bangun solidaritas dan aksi massa untuk melawan kekerasan seksual dan memberikan dukungan yang nyata bagi penyintas. Ketiga, dorong kampus untuk memberikan penyelesaian dan solusi yang lebih transparan dan berpihak kepada penyintas. Keempat, dorong kampus untuk memberikan sanksi yang tegas dan terbuka kepada pelaku, baik dosen, mahasiswa, maupun siapa saja yang berada di wilayah kampus.
Ada dua contoh kasus pelecehan seksual yang dibawa dalam aksi tersebut. Ialah tindakan asusila yang dilakukan oleh salah satu dosen UGM dengan inisial EH yang kasusnya hingga kini masih dibungkam pihak universitas. Serta HS yang diduga sebagai pelaku tindak pelecehan seksual atas kasus Agni. EH kini masih bebas sedang HS dikabarkan akan melenggang wisuda.
“Kenapa tuntutan kami terasa ekstrem? Agar tidak ada lagi calon-calon pelaku pelecehan dan kekerasan seksual yang baru. Kita harus memikirkan keberpihakan kita kepada para penyintas,” tandas Diyat. (adl/fqh)