SKETSA – Lengan kanan Presiden BEM FISIP Unmul Andi Muhammad Akbar bolong. Nahas, kemarin, Selasa, 5 Maret ia bersama tiga orang massa aksi yang lain menerima tindakan represif dari aparat berupa tembakan peluru karet yang dimuntahkan tanpa tedeng aling-aling.
Ketika itu, pukul 10.00 Wita, Akbar dan mereka yang tergabung dalam Gerakan Pejuang Demokrasi (GMPD) tengah melakukan aksi lanjutan ‘Tolak UU MD 3’ di muka Kantor DPRD Provinsi Kaltim bersama sejumlah tuntutan. Di antaranya, menuntut pasal 73 agar dikembalikan menjadi versi sebelum revisi, penghapusan pasal 224, 245, dan butir k dalam pasal 122, serta mendesak DPRD Provinsi Kaltim untuk menolak UU MD 3 dan presiden tegas dalam melakukan revisi terbatas terhadap pasal-pasal sebagaimana tuntutan pertama.
Aksi tersebut semula berjalan damai, namun pada pukul 13.45 kondisi tiba-tiba berubah ricuh. Semuanya diduga bermula ketika tiga massa aksi ditarik paksa oleh aparat kepolisian menjauh dan keluar dari barisan lalu diamankan di pos jaga pintu masuk kantor DPRD. Akbar, ketika itu bermaksud hendak menjemput mereka. Namun, belum sampai langkahnya di depan pos, peluru karet lebih dulu bersarang di lengannya dan meninggalkan bekas memar di bagian kulit bekas tembakan. Represifitas yang kian menjadi-jadi, membuat suasana makin tidak kondusif. Massa lalu membubarkan diri.
“Peluru itu dibeli dari pajak rakyat,” tulis akun bernama Pasaribu Idris dalam kolom komentar unggahan kronologi penembakan yang di posting oleh akun GMNI Komisariat FISIP Unmul.
Malamnya, sekira pukul 21.00 Wita, GMPD melaporkan perkara ini ke Polresta Samarinda.
Aksi tak lantas padam meski warna memar masih belum juga redam. Senin, 12 Maret mendatang, GMPD rencananya akan kembali menggelar aksi di tempat yang sama. Tuntutan bertambah satu, yakni mengecam tindakan represifitas aparat kepada masyarakat.
“UU MD 3 ini justru mencacatkan kemajuan bangsa dan demokrasi itu mengalami kemunduran,” bunyi kalimat seruan aksi lanjutan.
Musllan, Ketua Himpunan Mahasiswa Pembangunan Sosial FISIP, yang juga salah satu massa aksi membenarkan kabar tersebut. Bersama pihaknya, ia mengecam tindakan represi aparat yang dinilainya sudah lari dari fungsi yang semestinya.
"Kami tidak takut dan tidak akan pernah takut dengan siapa pun, karena gerakan kami adalah gerakan yang memang memperjuangkan rakyat dan sistem demokrasi kita. Kami akan melanjutkan gerakan ini dengan yang lebih besar lagi untuk menuntut keadilan dan hak-hak demokrasi yang seluas-luasnya," tukasnya.
1945, kata Musllan, founding father Indonesia telah melalui perdebatan panjang untuk menentukan ke mana arah bangsa Indonesia. Apakah demokrasi, kerajaan, atau feodalisme, dan semunya bersepakat demokrasi. Namun, 20 tahun reformasi, sistem demokrasi justru kian dikebiri. (aml/adl)