Advokasi untuk Pingkan dan Pengakuan Pengurus Hima Soal Kaprodi Diskriminatif

Advokasi untuk Pingkan dan Pengakuan Pengurus Hima Soal Kaprodi Diskriminatif

SKETSA - Menanggapi masalah terkait nilai E yang mendera Pingkan, mahasiswi sebuah program studi (prodi) di salah satu fakultas terbesar di Unmul, Ketua Himpunan Mahasiswa (hima) prodi Pingkan, Damar, bukan nama sebenarnya, mengaku kaget. 

(Baca: https://www.sketsaunmul.co/berita-kampus/membaca-diskriminasi-seorang-kaprodi/baca)

“Saya juga gimana ya, dibilang kaget juga iya, kok ada gitu nah hal-hal yang begini. Cuma kembali lagi ke kaprodi sendiri gimana tanggapannya,” ujar Damar.

Namun, setelah mengetahui hal ini, Damar bersama hima berniat akan melakukan advokasi untuk Pingkan. Tentu saja setelah mendapatkan izin dari yang bersangkutan, mau atau tidak. Upaya advokasi, nantinya akan berjalan dalam beberapa tahap. 

“Pertama, memang harus ada sebuah forum yang mempertemukan antara mahasiswa, dosen, dan kaprodi. Ya, memang agak susah sih bentuk forumnya, itu juga sebagai klarifikasi antara pihak kaprodi dan mahasiswa tersebut,” terang Damar.

Perihal advokasi terkait permasalahan nilai, Damar akan berencana menemui Pingkan untuk mengetahui kronologi pasti dari permasalahan ini. Selanjutnya, ia akan menemui dosen pengampu dan juga kaprodi.

“Kalau dari hima ibaratnya memfasilitasi terlebih dahulu dengan melakukan sebuah forum. Yang memang ingin dicapai adalah sebuah jalan tengah yang tidak merugikan,” katanya.

Dalam catatan hima, kaprodi yang sama pernah melakukan diskriminasi lain terhadap mahasiswa. Sekretaris Jenderal (Sekjen) hima, Aditya, bukan nama sebenarnya, menerangkan bahwa saat kegiatan pra PAMB fakultas ada beberapa mahasiswa baru yang mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari kaprodi tersebut.

“Ada beberapa mahasiswa baru yang merasa keberatan dengan UKT-nya. Dia akhirnya menghadap kaprodi,” ujar Aditya.

Aditya menceritakan bahwa mahasiswa tersebut menemui kaprodi untuk menerangkan bahwa ia tidak sanggup membayar UKT. Malang, yang ia dapati malah cercaan.

“Kalau memang enggak sanggup bayar, ya keluar aja cari kampus lain,” ucap Aditya mengingat-ingat perkataan kaprodi tempo hari.

Tak hanya mahasiswa angkatan 2016, mahasiswa angkatan 2017 juga pernah mendapati hal itu. Aditya merasa hal tersebut tidak etis, mengingat kaprodi yang dianggap sebagai orang tua di kampus seharusnya bisa memberikan bantuan bukan menyudutkan.

“Dia menganalogikan sebuah barang, jadi kalau tidak sanggup beli barang ini ya, beli aja yang kualitasnya lebih rendah. Seharusnya dari kita ya, setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Ini kenapa seperti dijual belikan, ketika kita enggak punya uang ya, enggak bisa belajar,” kesalnya. 

Adapun, kejadian permasalahan nilai mahasiswa seperti yang dialami Pingkan, dikatakannya baru pertama kali diterima hima. Aditya berusaha melihat permasalahan ini dari dua sisi. Jika dari sisi mahasiswa, menurutnya, Pingkan mestinya berhak mendapatkan haknya.

“Dari mahasiswa dia sudah kerjakan kewajibannya cuma dari pelayanannya dapat yang buruk, dapat E. E itu kan tidak pernah masuk,” ucapnya.

Sedangkan dari kaprodi, kata Aditya, bisa jadi melihat mahasiswa ini tidak tanggap. “Karena itu di semester ganjil, tapi diurus di semester 6. Cuma ya, harus ditanggapi apalagi menyangkut nilai terlebih lagi dia membayar UKT. Cuma dari kaprodi kaget nih kalau dengar statement-nya, lebih mementingkan citranya ke SIA agak lucu aja gitu. Dia lebih mementingkan rasa tidak enaknya ke SIA ketimbang nilai dari mahasiswa ini apalagi stres kepanjangan,” jelasnya. 

Hingga berita ini diturunkan, kaprodi yang bersangkutan belum berhasil dikonfirmasi. (adn/wal/aml/adl)