Lifestyle

Waspada Penyalagunaan Obat Berujung Maut

Tak kenal usia, penyalahgunaan obat kini merajalela bahkan di usia produktif. (Sumber foto: tribunnews.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Peredaran narkotika obat terlarang (narkoba) di negeri ini begitu mengkhawatirkan. Mirisnya, barang haram ini memang menyasar pada usia produktif 15-64 tahun, adapula korbannya yang di bawah usia produktif tersebut.

Agaknya, narkoba menjadi gaya hidup tak sehat yang merusak pemakainya. Berdasar penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN), Kalimantan Timur menempati urutan ketiga, setelah Jakarta dan Kepulauan Riau. Sedang pengguna terbanyak di Kaltim berada di Samarinda, disusul Balikpapan, Kutai Kertanegara (Kukar), Bontang, dan Kabupaten Paser.

Pada September lalu, kabar jatuhnya 87 korban dan tiga di antaranya tewas akibat meminum Pil PCC. Kasus tragis ini terjadi di Kendari, Sulawesi Tenggara. Namun, Pil Paracetamol, Caffeine, Carisoprodol disingkat PCC itu, bukanlah narkotika terlarang. Melainkan obat keras yang disalahgunakan.

Mengenai dampak buruk obat ini Ketua, Apoteker Farmasi Unmul, Nur Mita mengatakan Pil PCC merupkan jenis obat ilegal. Semestinya, obat ini tidak boleh produksi dan didistribusikan secara bebas. “Untuk memproduksi suatu obat itu harus ada izin dulu, harus ada sertifikasi CPOB (cara pembuatan obat yang baik) dulu,” ucapnya.

Sebenarnya, kandungan paracetamol dan caffeine bukan hal baru. Paracetamol kita ketahui sebagai obat sakit kepala, demam atau sakit ringan lainnya. Caffeine atau kafeina nyatanya malah terkandung dalam cokelat, teh atau kopi, bahkan belakangan kafein terdapat dalam kosmetik.

Namun yang berbahaya adalah dari sisi carisoprodol. Dampak dari mengonsumsi kandungan ini adalah mati rasa, hilangnya keseimbangan tubuh, hilang kesadaran (pingsan), detak jantung tidak stabil, kejang, penglihatan kabur, muntah-muntah, hingga kebingungan atau seperti depresi.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah menyatakan carisoprodol sebagai obat yang dilarang beredar maupun diproduksi 2013. Namun kenyataannya, obat yang dinyatakan terlarang itu masih bisa ditemukan pada 2017.

Khawatir akan bernasib sama seperti di Kendari, aparat sigap mengatasi kasus PCC ini. Terbukti dengan ditangkapnya Sumiati dan Riswandi yang dengan mudahnya menyebarkan obat keras ini.


Mau Konsumsi Asal Diakui


Selain fokus pada bahaya yang ditimbulkan obat ini, ada musabab lain yang mesti disoroti. Anak muda khususnya, rentan sekali terpengaruh. Kasus di Kendari menunjukkan, bahwa anak muda begitu mudah larut dalam tragedi PCC.

Seperti yang diungkapkan Ayunda Ramadhani M.Psi, Psikolog Unmul ini. Bahwa anak muda masih mencari identitas diri. "Dia ingin diakui kelompok,

sehingga ketika berada di lingkungan yang rentan terhadap peredaran obat-obatan tersebut dia akan terikut," jelasnya saat ditemui Sketsa, di Kampus Banggeris (4/10).

Ayunda, memahami kondisi permasalahan ini. Sebab, ia pernah merehabilitasi anak-anak yang memang mengalami kecanduan obat-obatan. Menurutnya, semata-mata korban pun tak ingin mengalami kondisi tak mengenakkan itu. Lantaran, ingin diakui dalam kelompokknya, mereka mengabaikan risiko yang bakal terjadi.

"Kalau mereka (korban) dengan kesadaran sendiri, nyari (obatnya) sendiri, enggak ada biasanya. Itu digunakan berkelompok, sama kan kayak ngelem?" tanyanya.

Sepakat, Ayunda pun mengatakan PCC adalah penyalahgunaan obat, yang mestinya dikonsumsi berdasar resep dokter. Bicara soal penyembuhan bagi yang mengalami kecanduan, Dosen Bimbingan Konseling FKIP Unmul mengatakan masa penyembuhan yang paling lama ia rasakan sekitar 3 tahun, sedang paling cepat 1 bulan. Semua berbeda tergantung lamanya pemakaian, juga lingkungan ia berada.

Sejatinya, tak ada yang ingin terjerumus ke lembah hitam ini. Meski bukan soal kecanduan obat-obatan, Pil PCC satu contoh nyata penyalahgunaan obat yang berujung maut. Pengonsumsian obat-obat yang tak dibenarkan ini, mestinya dapat menjadi pengingat terhadap risiko fatal yang bisa saja terjadi. (mrf/jdj)



Kolom Komentar

Share this article