Lifestyle

Mengenal Jenis-jenis Kekerasan Seksual

Jenis kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS.

Sumber Gambar: Kompasiana.com

SKETSA Istilah kekerasan seksual bukanlah hal yang baru terdengar. Sejak lama peristiwanya telah banyak terjadi, banyak diberitakan hingga dibicarakan. Bahkan semakin ramai dengan banyaknya kasus yang terungkap. Itu terlihat dari hasil survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi pada 2020 yang mencatat bahwa dari keseluruhan jenjang pendidikan, 27 persen aduan berasal dari universitas. 

Meski kasus kekerasan seksual terjadi terus menerus, banyak yang belum memahami perihal bentuk dan jenis kekerasan seksual. Ini bisa menjadi salah satu faktor salah kaprah dalam membincangkan isu kekerasan seksual. Istilahnya kerap dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi secara fisik seperti pelecehan, pemerkosaan hingga penyiksaan. 

Setelah disahkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 9 Mei lalu. Istilah dari kekerasan seksual beserta penanganan hukumnya telah diatur dalam kebijakan tersebut. Merujuk pada laman resmi DPR RI, kekerasan seksual diartikan setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa.

Tak hanya di ruang publik seperti mal, pasar, dan tempat sejenisnya, tak pelak kekerasan seksual dapat terjadi di kampus, yang kemudian diatur melalu Permendikbud PPKS 30/2021. Nah, agar semakin wawas diri, yuk kenali jenis-jenis kekerasan seksual!

a. pelecehan seksual non fisik

Perbuatan seksual non fisik meliputi pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.

b. pelecehan seksual fisik

Meliputi perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya.

c. pemaksaan kontrasepsi

Melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu.

d. pemaksaan sterilisasi

Melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap.

e. pemaksaan perkawinan

Perbuatan memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain: perkawinan anak; pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya; pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.  

f. penyiksaan seksual

Setiap pejabat atau orang yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat resmi, atau orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan pejabat melakukan kekerasan seksual terhadap orang dengan tujuan: intimidasi untuk memperoleh informasi atau pengakuan dari orang tersebut atau pihak ketiga; persekusi atau memberikan hukuman terhadap perbuatan yang telah dicurigai atau dilakukannya; dan/atau mempermalukan atau merendahkan martabat atas alasan diskriminasi dan/atau seksual dalam segala bentuknya.

g. eksploitasi seksual

Menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain dan menjadikannya tidak berdaya dengan maksud mengeksploitasinya secara seksual

h. perbudakan seksual

Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan, kerentanan, ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, ketergantungan seseorang, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, atau memanfaatkan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari orang itu yang ditujukan terhadap keinginan seksual dengannya atau dengan orang lain

i. kekerasan seksual berbasis elektronik

Tanpa hak melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual.

Kemudian, apa langkah yang harus diambil jika terjadi suatu TPKS?

Apabila telah terjadi suatu TPKS, korban atau orang yang mengetahui, melihat, dan/atau menyaksikan peristiwa tersebut dapat melapor ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan/atau kepolisian, baik di tempat korban maupun di tempat terjadinya tindak pidana.

Di samping proses pelaporan, UU TPKS juga mengatur ketentuan akan pelindungan korban di mana kepolisian dapat memberikan perlindungan sementara paling lambat 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak menerima laporan TPKS dan paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak korban ditangani berdasarkan surat perintah.

Untuk mencegah terjadinya atau keberulangan suatu TPKS, UU ini turut mengatur ketentuan dalam penyelenggaraannya dimana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diwajibkan menyelenggarakan pencegahan TPKS dan melakukan koordinasi secara berkala dan berkelanjutan guna efektif dalam pencegahan dan penanganan korban.

Selain upaya dari pemerintah, pencegahan TPKS juga memerlukan partisipasi dari masyarakat dan keluarga dalam pencegahan, pendampingan, pemulihan, dan pemantauan terhadap TPKS. (eng/mel/khn)



Kolom Komentar

Share this article