Lifestyle

Membaca Bullshit Jobs: Esensi Pekerjaan di Masa Kini

Bullshit job, pekerjaan tambahan di era majunya teknologi.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: pexels

SKETSA - Dalam menciptakan nilai untuk dirinya seseorang perlu bekerja. Bekerja menjadi cara untuk manusia memenuhi kebutuhan dan memperoleh rasa aman atas kehidupannya. Dalam era modern, mereka yang memiliki modal, berpeluang lebih dalam menciptakan lapangan pekerjaan.

Utamanya pada disrupsi teknologi, isu yang menerpa kaum pekerja ini tak lepas dari fungsi pekerjaan dan pemaknaan itu sendiri. Perkembangan teknologi yang mendorong digitalisasi ini tak cukup kuat menghadirkan efisiensi. Hal ini diungkap oleh David Graeber sebagai Bullshit Jobs pada 2018. Seorang profesor di bidang antropologi ini melihat negara-negara maju masih berkutat dengan jam kerja empat puluh jam seminggu, padahal mereka telah memiliki teknologi tinggi yang seyogianya memengaruhi efisiensi kerja manusia. Dalam pandangannya ketika pekerjaan diotomasi, pekerjaan lain malah dimunculkan.

Tokoh ini memberi gambaran dengan menampilkan survei di Amerika Serikat pada 2016 mengenai pekerjaan kantoran. Survei tersebut memaparkan hanya sekitar 39 persen pekerjaan yang berkategori tugas utama. Sedangkan 10 persen dihabiskan untuk rapat atau pertemuan rapat yang membuang waktu, 8 persen untuk menyelesaikan tugas-tugas yang tidak penting, dan seterusnya. Dengan kata lain, pekerja dalam survei itu tak betul-betul mengerjakan apa yang esensial.

Sukapti, dosen Pembangunan Sosial melihat fenomena bullshit job muncul seturut dengan tuntutan hidup dan sosial. Hal ini karena setiap orang perlu bekerja untuk mencukupi kebutuhan. Bullshit job juga menjadi dilema tersendiri bagi pencari kerja, selain mencari pengalaman, seseorang akan bertahan dengan pekerjaan yang yang dinilai tak betul-betul berperan pada kehidupan sosial di masyarakat dibanding menganggur. Pelabelan atas penggangguran jadi bayang-bayang yang mampu menekan seseorang. Tak bisa dimungkiri pula, nilai kapitalistik merongrong cara kerja yang ada.

"Karena saat ini, seseorang akan dinilai atau dihargai dari kemampuannya menghasilkan uang (materi), dan gaya hidupnya dari materi yang diperoleh itu. Meskipun nanti, orang merasa bahwa pekerjaan yang dilakukan tidak penting dalam kehidupan (bullshit job), mereka berusaha bertahan," ujarnya pada Senin (12/5) lalu.

Ketakutannya ialah di masa mendatang manusia bekerja sekadar melaksanakan tugas dan menuntaskan perintah demi memperoleh pendapatan. Pengalaman bekerja menjadi bergeser, tak lagi sebagai ajang berkarya, mengembangkan diri, dan punya manfaat bagi tatanan sosial. Sehingga setiap pencari kerja baru maupun mahasiswa fresh graduate, perlu bijak sebelum mencari pekerjaan. Fenomena bullshit job ini, menurut Sukapti akan langgeng atau bersifat jangka panjang.

"Saya kira, kita semua dalam memilih pekerjaan bukan sekedar berorientasi pada nilai uang atau gaji. Tapi pada nilai kerja yang memuliakan manusia, lingkungan, dan kehidupan sosial yang berkelanjutan. Berani menolak tawaran pekerjaan, yang berdampak pada rusaknya lingkungan hidup."

Pada sisi lain, Ainun Ni'maturrohmah, dosen Ilmu Komunikasi FISIP menduga, bullshit jobs muncul akibat situasi kultural. Terlebih nilai dari setiap sumber daya manusia ini berbeda-beda pemanfaatannya di tiap negara. Baginya perusahaan yang telah memiliki tingkatan manajemen baik, akan lebih selektif dalam mencari sumber daya manusia sesuai kebutuhan dasar dari posisi yang dicari saat itu.

Terlepas dari fenomena yang dikemukakan Graeber, Ainun menyebut berbagai teknik komunikasi era kini, dimanfaatkan perusahaan dalam memunculkan sebagai daya pikat bagi pencari kerja atau pihak lainnya untuk menerima pesan.

“Apakah media memengaruhi? Tidak. Tapi kalau proses komunikasinya iya. Bagaimana orang menjaga cara dia memengaruhi orang lain, berperilaku kepada orang lain. Saya memandangnya dari membentuk citra dengan memberikan layanan sebagai perkara intangible,” paparnya Senin (9/5). 

Ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah pekerjaan yang tengah kita jalani termasuk bullshit job? Namun, Ainun berpandangan bahwa kompetensi dan kemampuan komunikasi sebagai modal utama untuk dapat mencari pekerjaan terbaik yang kita mampu tekuni. “Kita bisa memilih kok untuk (melakukan pekerjaan) bullshit atau enggak, dan kita hidup itu pasti punya nilai. Selama nilai kita baik, kita enggak akan melakukan hal-hal yang tadi (manipulatif),” tutupnya. (eng/lav/afr/khn)



Kolom Komentar

Share this article