Untung Saja
Andai saja...
SUmber Gambar: Freepik
Masih pagi buta dan gelap gulita ia menuju pinggir pesisir. Bahunya dirangkul jaring dan kepalanya diteduh caping. Kemudian ia melangkahkan kakinya di jalan setapak menuju hutan belantara sebelum sampai di tepi pantai. Banyak suara yang ia dengar; burung berkicau, jangkrik berderik, kodok mengorok, hingga ayam berkokok.
Jaraknya masih jauh dari air laut dan ia tergoda singgah di depan pohon besar yang menunjang. Saking tingginya ia mampu melihat ketinggian pohon di sekitarnya tidaklah ada apa-apanya dengan pohon yang ia lihat di depan matanya. Pohon itu hijau berkilau, batangnya kuat dan kokoh serta ranting-rantingnya membungkuk hampir menghalangi pohon di sekitarnya.
Ia takjub melihat keindahan pohon itu. Bagaimana tidak, pohonnya menonjol sendiri dibanding pohon-pohon lainnya. Waktunya tersita beberapa menit hanya untuk melihat keindahan pohon semampai itu. Ditengoknya daun-daun yang berserakan di bawah pohon tersebut sambil menerka-nerka jenis pohon apakah yang menaklukan langkahnya gerangan.
Sedang asyik melirik daun-daun berserakan, tak sadar ada sesuatu yang mendekati kakinya. Seekor hewan sudah memandangi kakinya sejak ia mondar-mandir menilik dedaunan.
“Sial! Kalajengking! Hampir saja, pufh.”
Menghindari agar hewan berbahaya lainnya tidak menyerang dan menyadari waktunya cukup habis hanya untuk melihat pohon, ia langsung melanjutkan perjalanannya. Matahari sudah hampir menyelakkan sinarnya di sela-sela pepohonan yang rindang. Capingnya sudah semakin gerah dan kakinya sudah semakin letih.
Pada sisa-sisa fajar yang gelap dan menuju hari yang terang, ia akhirnya sampai di pinggir pantai. Segera jaring yang ia gotong sejak tadi dilemparkannya ke dalam perahu kayu yang disematkan pada tiang yang tertancap di atas pasir agar tidak larut bersama air laut.
Tak ada yang menyita waktunya saat menyiapkan perahu saat itu. Tanpa distraksi dan basa-basi, ia naik dan mengambil kemudi. Laut saat itu tenang dan bersahabat. Airnya jernih, biru dan sejuk.
Perahunya melaju dan menyambangi arus yang semakin deras di tengah laut. Perahu yang ia kemudikan kini semakin goyah. Air laut yang awalnya cukup tenang kini semakin berontak. Hal tersebut sudah sering ia alami. Sudah banyak laut yang ia arungi dan sudah sering pula ombak ia hadapi.
Namun kali ini langit yang tadinya biru cerah berawan, kini menggelap. Awan semakin abu dan hujan terlihat akan menyerbu. Ia lantas siap siaga menyiapkan hal yang perlu digunakan agar tidak terserang hujan yang entah akan deras atau hanya gerimis. Namun, yang ia punya hanya jala dan caping. Dan keduanya tidak bisa melindunginya dari air hujan maupun ombak.
“Seharusnya aku jalan lebih cepat agar tidak bertemu ombak dan hujan hari ini.”
Namun, apa mau dibuat, ia sudah berlayar bersama perahu di atas laut dan perlengkapan yang ia punya juga tidak begitu memadai untuk melindunginya. Maka, yang ia bisa lakukan hanya pasrah dan menyiapkan badannya untuk melawan angin dan badai yang bisa kapan saja menghantam perahu juga tubuhnya.
Perahunya yang hanya muat dua sampai tiga orang itu terombang-ambing mengikuti pola ombak yang menghantam. Ia berusaha kuat berpegangan pada badan perahu di sisi kanan dan kiri. Ombak semakin gemuruh dan badannya sudah basah menyeluruh. Bahkan langit ikut menurunkan hujannya bersama angin yang begitu kencang.
Namun, setelah bertahan dihantam angin hingga ombak akhirnya ia menemui ujung laut tersebut. Dari kejauhan terlihat pasir putih membentang di depan mata. Tanpa ragu ia pun mengarahkan perahunya menuju bentangan pasir tersebut.
Dari kejauhan ia melihat para manusia lain terdampar kelelahan di hamparan pasir putih bersama dengan perahu-perahu mereka. Wajah mereka dipenuhi rupa lelah dan rupa yang hampir menyerah. Tak jauh berbeda darinya, ternyata mereka juga habis terbawa ombak yang mengamuk sejak tadi. Bedanya, ombak yang membawa mereka jauh lebih ganas dari apa yang ia hadapi.
Mereka berangkat jauh lebih awal dibanding dirinya subuh tadi. Mereka beradu bersama tingginya deburan ombak dari awal berlayar hingga menemui dasaran pasir yang menyelamatkan mereka. Tak sama dengannya, mereka membawa sejumlah barang yang sangat siap untuk melaut, perahunya beratap dan cukup menutup tubuh mereka dari semburan ombak.
Ia pun berderu dalam hati merasa beruntung tidak berlayar secepat mereka. Jikalau ia berangkat sedini mungkin, bisa jadi ombak yang ia temui sama seperti mereka, lebih besar dan berbahaya. Terlebih ia tidak membawa pasokan barang yang akan cukup membantunya menghadapi ombak.
“Untung saja pohon itu memukauku sehingga perjalananku jadi lebih lambat.”
Saat turun dari perahu yang disandarkan di pinggiran laut, ia menghampiri para manusia yang terdampar. Ia menanyakan kondisi mereka yang terlihat sudah tidak ada lagi gairah karena begitu lelah.
Setelah melihat para manusia itu dan setelah mengingat apa yang baru saja dialaminya, ia kembali bergumam berandai-andai bila saja ia membatalkan perjalanannya melaut hari ini, pasti ia tak akan bertemu ombak yang sangat merugikannya itu.
“Coba saja tadi aku tidak usah pergi berlayar hari ini.”
Namun, ia kemudian melupakan laut pahit yang mengirim ombak kepadanya tadi. Kini, bersama para manusia, ia beristirahat sebentar. Langit mulai menguning dan ombak sudah mulai hening. Ia dan para manusia memutuskan untuk kembali berlayar ketika kondisi mental dan fisik mereka sudah dirasa siap setelah cukup beristirahat.
Ia kemudian mengisi waktu senggangnya dengan berjalan mengelilingi hamparan pasir tempatnya beristirahat. Kakinya kesana kemari mencongkel pasir mengaduk karang yang tersapu oleh desir. Bajunya yang tadi basah kuyup, kini hampir kering sebab badannya yang bolak balik tersayup angin.
Pada waktu bersamaan, ia melihat kerumunan ikan berdatangan menuju tepi laut di dekatnya. Ikan-ikan itu tampak berlari dari suatu bencana dan mencari tempat yang aman. Ia kebingungan namun juga senang karena tak perlu berlayar lebih jauh lagi untuk berburu ikan.
Ia tersadar, ikan-ikan itu berangkat dari semburan ombak yang sama. Mereka tersapu oleh air laut yang sama ganasnya dengan apa yang ia dan para manusia hadapi barusan. Ia pun kembali bergumam, untung saja hari ini ia berlayar, meski bertemu pohon yang menyita waktunya, atau kalajengking yang hampir menggigit jarinya, atau bahkan ombak yang hampir mengancam nyawanya. Ia merasa beruntung, tanpa susah payah menjulurkan jaring, banyak ikan-ikan yang kini menghampirinya.
“Untung saja tadi ada kalajengking yang membuatku langsung berlayar dan mengantarkanku kemari.”
Para manusia yang tadinya muram menjadi sumringah. Ia yang tadinya mengeluh agar seharusnya tidak usah pergi berlayar kini merasa keputusan yang diambilnya pagi ini untuk melaut adalah hal yang menguntungkan. Jaring yang tidak membantunya saat ombak menghampiri, kini sungguh berfungsi menjerat ikan-ikan yang tersesat.
Ditulis oleh Siti Nurmasyitah, mahasiswi Sastra Inggris, FIB 2021.