Cerpen

Sebuah Hadiah

Keinginanku...

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Pinterest

“Kamu lagi pengen apa? Cepat, bilang aja.” 

Ibu maupun ayah selalu berkata sedemikian rupa tepat di saat kami bersitatap untuk kali pertama di pagi hari pada awal September. Sebuah pertanyaan berulang dengan intonasi dan susunan kalimat yang sama setiap tahunnya. Tidak lebih tidak kurang. 

Aku yang terbangun sedikit lambat pagi ini tidak sempat memikirkan jawaban, atau mungkin memang tidak ada lagi yang bisa terpikirkan. Langsung berpamitan tanpa menjawab serta menolak ajakan ayah untuk pergi bersama, aku lantas melesat keluar sembari sedikit membenarkan seragam yang dikenakan asal-asalan. Untungnya, ayah dan ibu tidak ada yang menyadari kalau anak perempuannya yang usai tak bisa tidur semalaman ini akan terlambat sampai di sekolah. Untungnya lagi, taksi online yang kupesan sudah sampai saat aku keluar dari rumah.

Di tengah gempuran rasa gelisah karena takut benar-benar terlambat–padahal itu sudah pasti terjadi, aku berusaha untuk mencoba tetap tenang. Menarik dan menghembuskan napas perlahan, menyandarkan punggung ke belakang dan melemparkan pandangan ke luar. Menghitung pepohonan yang dilewati sepanjang jalan sebelah kanan sembari memikirkan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan ayah pagi tadi. Jelas ayah membutuhkan jawaban bukan hanya tentang yang kuinginkan, tapi juga bisa dia berikan. 

Tepat pada pohon ke sembilan, sebuah ide lantas terpikirkan begitu saja, membuatku langsung menegakkan tubuh. 

“Boleh ubah rute nggak, Pak?”

***

Deretan persawahan yang tengah digarap dan bukit-bukit hijau yang beberapa kali muncul memang memanjakan mata para penumpang kereta yang jarang melihat pemandangan. Membuat berbinar mata-mata yang kesehariannya hanya mendapat pemandangan jalan yang padat, gedung-gedung menjulang tinggi, serta tumpukan kertas dan buku yang seolah menentukan hidup.

Menyandarkan tubuh ke belakang, pandanganku lantas menoleh tepat ke samping. Seorang bayi yang entah berusia berapa bulan terlelap dalam dekapan perempuan paruh baya di sampingku, tenang, tenang sekali. Begitu tenangnya sampai aku sempat merasa iri. Sampai aku ingin mencuri ketenangan itu dan terlelap tanpa interupsi, tanpa dikejar waktu, tanpa dikejar ekspektasi, tanpa mimpi, tanpa evaluasi tentang hari ini. 

Begitu kereta berhenti, aku menghela berat saat melihat kembali orang-orang yang memadati stasiun. Kupandangi paper bag besar di hadapanku. Separuh bagian gulungan kanvas dan penyangganya mencuat dari sana. Membeli dan membawa barang-barang seperti ini ke dalam rumah haram hukumnya, setidaknya di keluargaku yang kata orang harmonis dan peduli pendidikan itu.

Aku lantas berdiri begitu seorang ibu yang menggendong bayinya beranjak dari sampingku. Tak lupa membawa peralatan dalam paper bag yang sempat-sempatnya kubeli saat hendak menuju stasiun.

Suara bising dari orang-orang yang bercakap, bertelepon, memanggil anggota keluarganya, hingga pedagang keliling, begitu saja merayap semua di telinga tatkala aku turun dari kereta. Memandang ke sekeliling, lalu kuperhatikan pakaianku yang masih dengan kemeja putih, rok abu-abu, dan rompi yang juga abu-abu. Tiba-tiba saja merasa aneh mengenakan seragam sekolah saat berpergian ke tempat lain di pagi hari begini.

Tapi, mencoba untuk tak ambil pusing, aku kembali menarik napas dan menegakkan bahu. Sembari membenarkan tali ransel di sebelah kiri, kakiku membawaku melangkah keluar dari stasiun di mana sinar matahari langsung menyengat kulit kendati belum tengah hari.

Ponsel langsung kumatikan setelah aku mendapat kendaraan yang akan mengantarkanku ke tempat tujuan. Membawaku dengan tenang melalui jalan yang sedikit lengang dan pepohonan yang aku sudah lelah menghitungnya, menuju pinggiran kota yang benar-benar lengang sebab masih jam kerja dan sekolah. Selain itu, memang tidak ada tempat rekreasi yang ramai jika bukan hari libur begini.

Tatkala turun dari taksi setelah membayar biaya yang cukup membuat terperangah, aku disambut semilir angin yang terasa begitu sejuknya. Pemandangan hamparan sawah dan perbukitan seperti yang kulihat di kereta, warung-warung yang menjajakan makanan dan minuman, serta beberapa tempat rental sepeda. 

Setelah membeli beberapa camilan dan air mineral, aku menyewa sebuah sepeda yang kemudian kukayuh menyusuri jalan yang diapit oleh persawahan. Dengan tas ransel di keranjang dan paper bag yang tergantung di setang, kakiku terus mengayuh membuat roda berputar tak tentu arah. 

Aku terlalu menikmati pemandangan yang jarang sekali kulihat, angin sejuk yang membuat rambutku beterbangan, serta perjalanan dengan sensasi baru yang kurasakan. Sebuah perjalanan tanpa rencana dan tujuan jelas, hanya mengikuti insting dan langkah kaki yang justru keluar dari struktur kegiatan yang bertahun-tahun kulakukan.

Begitu saja hingga kudapati diriku duduk beralaskan kain putih di tepi sungai yang mengalir jernih. Tidak ada suara kertas yang dibolak-balik, tidak ada hafalan-hafalan tentang sistem respirasi, tidak ada les Bahasa Inggris di malam hari, tidak suara-suara yang menuntut ini dan itu. 

Hanya ada aku dan kanvas yang bertemankan sunyi, bersama kuas yang menari, bersama cat warna yang mengukir momen menjadi abadi, bersama gemericik air yang mengalir, bersama dersik daun yang tertiup angin. Sebuah momen yang sebetulnya tidak pernah kupikirkan, hingga memori akan percakapan dengan seseorang kembali terlintas di benak.

Di suatu waktu, di saat aku terlalu lamat memandangi pantulan diri melalui cermin, ketika selesai membasuh wajah untuk menghilangkan kantuk di jam dua pagi, aku melontarkan sebuah pertanyaan dan seseorang dalam cermin itu seolah berkata kepadaku, “Bukan aku tidak menyukainya, hanya saja terlalu berat jika seperti itu caranya. Aku jadi merasa berada dalam lingkaran setan.” Ia lantas melempar pandang dengan kedua alis yang terangkat kepadaku. “Memangnya kamu tidak merasa begitu?” Aku hanya terdiam memandangi, sebelum ia kembali berujar, “Jujur saja, aku kasihan melihatmu.”

Lalu, semuanya buyar saat alarm melalui ponsel berdering. Buru-buru aku mematikannya, menyadarkan diri, membasuh wajah sekali lagi, lalu berbalik guna melangkahkan kaki untuk kembali. Kembali ke kubangan menyedihkan yang aku bahkan menjalaninya dengan suka rela. Lupakan rasa kasihan itu. Aku bahkan tidak punya keberanian untuk melepaskan diri dari lingkaran setan yang dia katakan. Aku, terlalu takut akan dunia luar sehingga terus berlindung dalam kandang. Apapun yang terjadi, bagaimanapun semuanya berjalan. Suka tidak suka, muak maupun nyaman.

Ternyata akhirnya terpengaruh juga. Setidaknya khusus untuk hari ini aku melakukan sesuatu. Melepaskan kakiku dari belenggu hanya untuk suatu hari yang khusus. Kebebasan. Hadiah yang kuberikan untuk diriku.

Cerpen ditulis oleh Widya Amanda, mahasiswi prodi Sastra Indonesia, FIB 2022.



Kolom Komentar

Share this article