Kamu, Senja dan Papandayan
Pertemuan tak terduga dalam pendakian
Sumber Gambar: Kumparan
Skripsi yang tak kunjung selesai membuatku memutuskan sejenak kembali ke gunung. Bagiku, gunung adalah tempat healing terbaik. Tempat terbaik untuk menemukan inspirasi dan menikmati keindahan alam.
Membayangkan indahnya gunung dan segarnya udara di puncak membuatku lebih semangat mendaki. Pemandangan yang disuguhkan Papandayan membuat waktu tidak terasa, ditambah cuaca yang sepertinya sangat pendukung pendakianku. Yup, tujuanku kali ini adalah Gunung Papandayan, gunung yang terkenal dengan keindahan hutan matinya.
Setiba di gunung, aku tarik napas dan memejamkan mata menikmati segarnya udara Papandayan yang sudah lama kurindukan. Namun, tanpa aku sadari seorang wanita mengarahkan kameranya ke arahku.
“Smile! Satu, dua, tigaaa!” teriaknya.
Aku hanya diam melihat aksi gadis itu. Lalu aku pergi dan mengabaikannya.
Setelah membangun tenda, aku pergi membersihkan wajahku. Saat kembali, aku melihat gadis tadi duduk di depan tendanya sambil memainkan gitar. Dia tersenyum ke arahku dan aku balas dengan anggukan sambil masuk ke dalam tenda.
Kemudian aku mengeluarkan kopi instan yang aku bawa dan menyeduhnya dengan air panas. Sembari minum kopi dan menikmati indahnya Papandayan, aku mendengar lantunan gitar gadis itu. Dengan suara merdunya, dia menyanyikan lagu milik Dere yang berjudul Kota.
"Di kota ini sehabis hujan Desember yang lalu
Di kota ini dalam ruangan berpenyejuk udara…"
Tanpa sadar, aku ikut bernyanyi dengan suara kecil. Aku menoleh dan melihat dia bernyanyi dengan penuh rasa, seakan-akan lagu tersebut sangat mewakili perasaannya saat ini. Selesai menyanyikan part terakhir lagu itu, dia berjalan ke arahku dengan membawa kopi dan gitarnya. Dan aku kembali meneguk kopi hangat yang telah ku buat tadi. Dia duduk di depanku dan menyeruput kopi miliknya.
“Lo sendiri?” tanyanya kepadaku.
”Iya, sendiri,” jawabku singkat.
“Sama gue juga sendiri,” lanjutannya.
“Oh. Kenapa mendaki sendiri? Enggak takut?” dia menjawab sambil tersenyum.
“Ya enggak, lah. Ngapain takut? Kan ada lo.”
“Bercanda, serius bet lu,” lanjutnya sambil tertawa
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Tiba-tiba dia melihat ke dalam tendaku dan tertuju pada sebuah buku yang bertuliskan ‘panduan skripsi’ dengan font yang besar, sehingga bisa dibaca dengan jelas.
“Oh, lari ke gunung karena skripsi. Anak kuliahan rupanya,” ucapnya sambil mengangguk-angguk.
“Iya, emang benar. Gunung emang pelampiasan terbaik kalau lagi bosan dan cari semangat baru,” lanjutnya.
“Ya gitulah,” jawabku sambil masuk ke dalam tenda. Lalu aku mengeluarkan dua cup mie yang aku bawa dan menyodorkan satu cup kepadanya.
“Lo mau?”
“Mau dong. Wih, enak nih,” jawabnya sambil mengambil mie instan yang aku sodorkan. Lalu kita menyeduhnya dengan air panas.
“Lo sendiri kenapa ke gunung? Karena skripsi juga?” tanyaku.
“Enggak, gue bukan anak kuliah,” jawabnya sambil tertawa kecil.
“Terus kenapa?” tanyaku lagi. Dia terdiam sejenak dan lanjut menjawab, “Hm, enggak ada alasan, ya, emang lagi pengen ke gunung aja.” Aku hanya mengangguk mendengar jawabannya. Kemudian kita mengambil cup mie masing-masing. Sebelum makan, tanpa sadar kita sama-sama melakukan tanda salib. Kita seiman!
“Gue lagi putus cinta,” celetuknya tiba-tiba sembari menyeruput mie instan. Tanpa sadar aku tertawa mendengar celetukannya.
“Enggak usah ketawa, lo, mahasiswa abadi,” celetuknya dengan tegas. Serentak, aku mengubah tawaku menjadi senyum kecil.
“Sorry, sorry,” ucapku sambil senyum.
“Ya gitu deh, gue lagi putus cinta, gue ditinggal.”
“Ditinggal nikah?” tanyaku langsung tanpa berpikir
Dia hanya menjawab dengan anggukan sambil menyeruput mie miliknya, kemudian kita hanya diam dan menikmati makanan masing-masing sambil merasakan dinginnya angin malam Papandayan.
“Tapi lo serius lagi broken heart? Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Kenapa apanya?” tanyanya langsung.
“Kenapa lo ditinggal?”
Dia menjawab sambil menghela napasnya, “Hm, karena berbagai perbedaan yang kita miliki.” mendengar jawabannya aku hanya mengangguk sambil ber-oh ria.
Beberapa menit setelah makan, dia kembali memainkan gitarnya dan memetik senar gitar dengan lagu yang belum jelas terdengar.
“Udah, lo nggak usah banyak tanya. Mending nyanyi aja, biar gue yang iringi,” celotehnya.
“Enggak, lo aja,” jawabku singkat
Lalu tiba-tiba dia memainkan lagu This I Believe dari Hillsong Worship.
"Akankah kita worship bersama malam hari ini?" tanyaku dalam hati. Lalu dia bernyanyi dengan suara merdunya.
"Our Father everlasting the all-creating one
God Almighty. Through your holy spirit…"
Aku diam terpesona melihat dia bernyanyi dengan penuh rasa, seolah-olah dia sangat paham dengan setiap lirik dari lagu itu. Dinginnya angin Papandayan dan indahnya langit yang ditaburi bintang-bintang, membuat gadis itu seolah-olah menyampaikan rasa syukurnya lewat lagu itu, atas keindahan yang kami rasakan malam ini.
“Nyanyi, dong!” ucapnya kepadaku di sela nyanyiannya. Aku mengangguk dan tersenyum mendengar ajakannya, lalu kita menyanyikan bagian reff lagu itu bersama.
"I believe in God our Father. I believe in Christ the Son
I believe in the Holy Spirit. Our God is three in on…"
Aku melihat jam di tanganku yang sudah menunjukan pukul 22.35.
“Sudah malam. Udara juga makin dingin, gue mau istirahat, lo masih mau nyanyi?” Tanpa menjawab, gadis itu berdiri dan kembali ke tendanya.
“Nama gue Ava. Kita belum kenalan,” teriaknya tiba-tiba sebelum masuk ke dalam tenda.
“Gue Alan,” jawabku singkat sambil masuk ke dalam tenda.
“Ava, Ava, Ava,” gumamku sambil tersenyum. Dan setelah berdoa, aku membaringkan tubuhku, tanpa menyentuh buku panduan skripsi yang selalu aku bawa. Entah harus aku anggap sahabat atau musuh.
Pagi ini aku bangun jam enam dan berharap bisa menyaksikan indahnya sunrise. Benar saja, saat keluar tenda, aku melihat indahnya matahari yang mulai menampakkan dirinya. Tiba-tiba, mataku tertuju pada gadis yang sedari tadi berdiri dengan memegang kameranya. Dia yang menyadari keberadaanku, menoleh dan mengarahkan kameranya ke arah ku seperti yang dilakukan saat awal kita bertemu.
“Selamat pagi!” teriaknya ke arahku dengan menampilkan senyum lebarnya.
“Pagi,” balasku dengan senyum kecil dan kembali melihat matahari yang memberikan warna orange khasnya. Setelah hampir jam sembilan, aku memberanikan diri untuk menghampiri Ava.
“Lo turun jam berapa?” tanyaku sambil duduk tak jauh darinya. Dia diam sejenak sambil melihat jam di pergelangannya, “Hm, kayaknya sekitar jam sembilan deh biar nggak terlalu panas. Lo gimana? Atau lo mau stay disini nyelesain tu skripsi?” tanyanya balik.
Aku tertawa mendengar pertanyaannya, “Gue juga turun jam segitu.”
“Oh, ya udah, turun bareng dong,” jawabnya.
“Yes!” jawabku dalam hati.
“Yaudah deh, kalau gitu gue bersih-bersih dulu,” lanjutku sambil berdiri dan pergi. Setelah mengemas, aku memungut bungkusan makanan di sekeliling tenda untuk dibawa turun, begitu juga dengan Ava, lalu kita pun bergegas turun.
Di perjalanan, Ava hanya sibuk dengan kameranya, mengambil gambar di kiri dan kanan. Sementara aku hanya tersenyum dan gelengkan kepala melihat aksinya.
“Semangat, Alan, ntar lagi sampai dan ingat masih ada skripsi yang harus lo selesaikan!” teriaknya ke arah ku sambil tersenyum lebar. Aku yang mendengar kata skripsi hanya menghela napas, berharap semuanya segera selesai.
Setelah beberapa jam, kita tiba di basecamp tempat kita memulai pendakian.
“Va, gue ke toilet dulu. Nitip carrier, ya,” ucapku sambil berdiri.
“Oke,” jawabnya singkat. Lalu aku ke toilet dan membasuh wajahku. Setelah membasuh wajah, aku kembali ke basecamp.
“Va, lo enggak ke toilet?” tanya ku asal tanpa melihat Ava. Tapi yang dipanggil tak kunjung menyahut.
“Ava, lo enggak ke toilet?” ucapku lagi sambil masuk ke dalam basecamp.
Tapi, saat masuk, aku tidak melihat Ava, aku hanya melihat carrier yang tadi aku titipkan ke Ava. Kemudian, aku keluar dan mencari Ava di sekeliling basecamp.
“Masa dia udah pergi?” tanyaku dalam hati. Dan aku mencoba untuk menunggu, berharap Ava kembali.
“Ah, sial! Mana gue lupa minta nomor atau medsosnya lagi,” gumamku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali.
“Ah! Ava, Ava. Kok gue bisa lupa minta kontak lu sih?” Kesalku sambil masuk ke dalam basecamp. Karena Ava tidak kembali, aku memutuskan untuk pergi. Namun, saat mengambil carrier, mataku tiba-tiba tertuju pada kertas kecil yang tertempel pada saku samping carrierku.
“Gue cabut duluan. Semangat kerja skripsinya.” Isi tulisan pada kertas kecil yang disertai gambar senyuman kecil di akhir katanya. Surat itu dilengkapi tanda tangan dan tertera nama ‘Ava’ di sudut kiri bawah surat. Dan tiba-tiba, aku menyadari sebuah foto berukuran kecil jatuh dari carrier-ku. Saat melihat foto itu, aku hanya tersenyum. Aku menyadari itu adalah fotoku yang diambil Ava saat pertama kali aku sampai di puncak kemarin.
“Ah, Ava. Kok gue bisa lupa minta kontak lo si?” kesalku. Kemudian aku berjanji untuk semangat selesaikan skripsi dan akan kembali ke sini, berharap bisa ketemu Ava.
“Pokoknya gue harus ketemu lo lagi, Ava!” ucapku semangat sambil melangkahkan kaki dari basecamp.
Cerpen ditulis oleh Laurensia Zoraida Alvis, mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi, FISIP 2021.