Mitos Kapuhunan: Bentuk Kearifan Lokal yang Masih Diyakini Masyarakat Kalimantan
Seluk beluk kapunuhunan yang konon membawa petaka
Foto: Grid.id
SKETSA — Setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang menjadi warisan secara turun-temurun. Seperti di Kalimantan misalnya, terdapat mitos yang sangat dipercaya dan telah membentuk perilaku masyarakatnya sejak dulu hingga kini yakni kapuhunan.
Definisi dari kapuhunan sendiri pun sempat mengalami perubahan makna seiring perkembangan zaman. Dahulu, kapuhunan diartikan sebagai sebuah peristiwa di mana seseorang mengalami gangguan seperti dirasuki oleh roh penjaga pohon yang menyebabkan orang tersebut berperilaku tidak sewajarnya.
Seiring berjalannya waktu, menurut perspektif masyarakat Kalimantan, kapuhunan saat ini memiliki arti kesialan atau wabah penyakit yang didapatkan. Perubahan makna terhadap kapuhunan disebabkan oleh nilai-nilai kebudayaan yang berubah dan terjadinya akulturasi atau pencampuran beberapa budaya dalam masyarakat.
Inilah kemudian yang akan membentuk budaya baru dan menggeser atau menghilangkan budaya lama. Dengan kata lain, perubahan makna kapuhunan terjadi akibat berbagai pengalaman dari kebudayaan yang berbeda terhadap masyarakat.
Adapun kesialan itu digambarkan seperti seseorang yang akan mendapat musibah apabila tidak memakan makanan yang ditawarkan, atau apabila tidak sempat makan sesuatu yang sudah diinginkan dan dihidangkan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Faisal dan Ariani (Persepsi Masyarakat Banjar Terhadap Kapuhunan, 2018) menjelaskan bahwa masyarakat suku Banjar (salah satu suku di Kalimantan) sangat meyakini bahwa ketika seseorang tidak makan atau menyantap makanan yang telah disediakan, maka orang itu akan mendapatkan musibah atau kecelakaan. Beragam bentuk kapuhunan yang akan diterima misalnya seperti tersandung dan jatuh hingga kecelakaan fatal lainnya.
Lebih lanjut, mitos kapuhunan yang terus dipercaya hingga berhasil memengaruhi perilaku masyarakat Kalimantan ialah adanya budaya turun-menurun yang sangat kuat di dalam masyarakat. Selain itu hal ini juga diperkuat dengan pengalaman pribadi masyarakat yang pernah mengalami musibah kemudian dihubungkan dengan kejadian menolak makanan.
Tak heran apabila hal ini lantas membekas di dalam alam sadar individu yang bersangkutan. Akhirnya, hal itu akan membentuk sebuah persepsi dari suatu peristiwa yang selanjutnya akan tercermin dalam perubahan sikap seseorang seperti yang dikutip dalam jurnal yang ditulis Faisal & Ariani, di judul yang sama.
Ini pula yang dibahas dalam Jurnal Insight Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember oleh Putri 2019 lalu. Dalam persepsi kapuhunan yang diterima dari lingkungan seyogianya dapat membuat seseorang bersikap mudah merasa cemas, was-was, dan takut ketika menyadari telah terlupa makan atau minum yang telah ditawarkan.
Oleh sebab itu berdasarkan pendapat masyarakat setempat, ada baiknya untuk mencicipi makanan yang telah dihidangkan walau hanya sedikit. Hal ini biasa disebut dengan menyantap oleh masyarakat Kalimantan dan bertujuan agar tidak tertimpa kesialan. (lza/snr/ems)