Budaya

Festival Kota Juang Sangasanga: Mengenang Peristiwa Merah Putih di Kota Minyak yang Jadi Ajang Pelestarian Budaya Lokal

Semarak Kota Juang Sangasanga

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Foto: Audrey/Sketsa

SKETSA – Memasuki penghujung Januari, warga di Kecamatan Sangasanga berbondong-bondong mengibarkan bendera merah putih di halaman rumah mereka. Seluruh pinggiran jalan pun turut dipenuhi oleh Sang Saka Merah Putih beserta umbul-umbul yang berkibar bersisian. Tentunya bukan untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada Agustus mendatang, melainkan untuk mengenang Peristiwa Merah Putih ke-76 tahun di Sangasanga, tepatnya pada tanggal 27 Januari 1947 silam.

Januari nampaknya jadi bulan yang paling dinanti masyarakat Sangasanga. Jika minggu keempat di bulan tersebut sudah tiba, itu artinya Festival Kota Juang akan segera diselenggarakan. Bahkan, euforia peringatan Peristiwa Merah Putih ini jauh lebih meriah dibandingkan perayaan Hari Kemerdekaan RI. Festival tersebut merupakan agenda yang rutin digelar setiap tahunnya. Selama ini, Festival Kota Juang hanya pernah absen sekali di tahun 2021 karena pandemi yang masih melonjak kala itu.

Rangkaian kegiatan dimulai dengan napak tilas yang digelar pada tanggal 26 Januari. Para peserta akan berjalan kurang lebih sejauh sepuluh kilometer dan melewati tiga kelurahan. Rute perjalanan dimulai dari Monumen Perjuangan Merah Putih di Kelurahan Sangasanga Muara, lalu melewati Kelurahan Sarijaya, dan berakhir di Kelurahan Sangasanga Dalam. 

Terlihat para peserta mengenakan kostum dan properti yang beragam: ada rombongan perempuan yang memakai baju kebaya sembari membawa bakul, hingga laki-laki dengan darah yang melumuri pakaiannya—yang tentunya diwarnai menggunakan cat merah—sambil membawa bambu runcing, menggambarkan para pejuang Sangasanga kala itu. 

Rangkaian acara selanjutnya adalah pembukaan Expo Merah Putih, renungan suci di Taman Makam Pahlawan Wadah Batuah, upacara parade peringatan Peristiwa Merah Putih, serta pertunjukkan Teater Merah Putih oleh pelajar seusai upacara. Operet tersebut mengisahkan tentang gigihnya perjuangan rakyat Sangasanga dalam menumpas serdadu Belanda dan Jepang yang ingin menguasai kota yang kaya akan minyak itu. Selain itu, terdapat pula beberapa kegiatan seperti jalan santai, reuni akbar yang dihibur oleh artis ibu kota, pentas seni, serta lomba gerak jalan.

Menjelajahi Expo Merah Putih dan Museum Perjuangan Merah Putih

Expo Merah Putih atau Pameran Pembangunan menjadi salah satu agenda yang paling dinanti. Pameran yang bertempat di Lapangan MTQ ini dihelat selama sembilan hari, dimulai dari 26 Januari hingga 3 Februari 2023. Pameran tersebut diisi dengan stan pameran dari berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) hingga Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). 

Kios penjual makanan, pakaian, hingga aksesoris turut memadati area Pameran Pembangunan. Para musisi dan seniman pun tak ketinggalan hadir untuk memeriahkan festival tersebut. Tahun ini, acara yang digelar selama sembilan hari itu mengangkat tema “Pahlawan Idaman Rakyat”. Awak Sketsa pun berkesempatan untuk mengunjungi pameran tersebut pada Rabu (1/2) lalu. 

Sore itu, area pameran nampak lebih lengang dari biasanya. Ditambah gerimis yang membuat pengunjung semakin sepi. Awak Sketsa sengaja berkunjung di sore hari untuk menghindari padatnya manusia agar lebih leluasa menjelajahi setiap stan yang ada di sana. Sayangnya, masih ada beberapa stan dan kios yang belum buka. Bahkan, wahana bermain anak-anak pun belum beroperasi sore itu. Maklum, sebab pengunjung biasanya mulai ramai berdatangan ketika malam hari. 

Ketika berjalan menyusuri lokasi tersebut, terlihat segerombolan anak-anak yang asyik memainkan permainan tradisional egrang dan bakiakTak disangka, mereka rupanya cukup mahir memainkan permainan yang menguji keseimbangan itu. 

Ketika awak Sketsa mencoba untuk mendekati mereka, di tengah gerombolan anak-anak itu, terdapat pula sejumlah orang dewasa yang sedang memainkan gasing tradisional. Senyum sumringah terlihat jelas di wajah mereka kala memainkan mainan yang terbuat dari kayu tersebut. 

Pemandangan tersebut rupanya cukup berhasil menarik kembali nostalgia masa kecil bagi orang-orang yang menyaksikan. Sayangnya, permainan tradisional tersebut nyaris punah tergerus zaman. Dewasa ini, agaknya cukup sulit untuk menemukan anak-anak yang masih memainkan permainan tradisional. 

Salah satu stan pameran yang Sketsa sambangi adalah milik Dinas Pariwisata Kutai Kartanegara. Dari pintu masuknya saja, pengunjung sudah disuguhkan dengan beragam jenis kerajinan tangan khas Dayak. Mulai dari gelang, anting, hingga baju adat Dayak. 

Bukan hanya sekadar dipajang, rupanya aksesoris tersebut juga dijual kepada pengunjung dengan harga yang bervariasi, mulai dari sepuluh ribu rupiah. Usai melihat-lihat, Sketsa pun akhirnya tertarik membeli sebuah gelang yang terbuat dari manik-manik berwarna hitam.


Beralih ke stan milik Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kutai Kartanegara (Diarpus Kukar). Tak seperti stan lainnya, Diarpus Kukar menata tempat tersebut sehingga terlihat seperti ruang tamu bergaya retro. Terdapat televisi kuno dan kursi rotan yang semakin memperkuat kesan jadul di ruangan itu. 

Selain itu, terdapat pula Kampoeng Literasi, yaitu sebuah perpustakaan kecil yang berisi sejumlah buku bacaan. Diketahui, Diarpus Kukar juga menggelar lomba bertutur atau mendongeng cerita rakyat tingkat sekolah dasar pada Senin (30/1) lalu sebagai upaya pelestarian budaya lokal kepada generasi muda. 

Puas menjelajahi Pameran Pembangunan, Sketsa kemudian bergeser ke Museum Perjuangan Merah Putih yang letaknya tak jauh dari kawasan pameran. Di seberangnya terdapat Monumen Palagan yang berdiri kokoh. Uniknya, terlihat pula mobil jip dan kapal tua peninggalan zaman kolonial yang terparkir di halaman museum tersebut.

Ketika memasuki bangunan itu, Sketsa sudah disambut dengan banyaknya koleksi foto-foto yang menggambarkan bagaimana keadaan pada zaman kolonial di Kaltim kala itu. Daftar nama pejuang, kapal rampasan, hingga tawanan perang dari pihak Sekutu juga terpampang di sana.


Setelah mengisi buku tamu, Sketsa kemudian segera beranjak mengeksplorasi museum. Selain koleksi foto dokumentasi, ada pula diorama yang menggambarkan peristiwa pada masa itu, seperti diorama yang memperlihatkan penangkapan dan pembantaian masyarakat Sangasanga oleh tentara Belanda di Jembatan Tujuh. 

Tak sampai di situ, berbagai senapan dengan jenis yang berbeda juga terpajang di sana. Bahkan, terdapat pula barang antik seperti mesin tik, gramofon, radio, kamera, sepeda, dan setrika kuno.


Museum Perjuangan Merah Putih biasanya hanya dibuka pada saat Festival Kota Juang digelar. Hal inilah yang menjadi faktor bangunan tersebut menjadi kurang terawat. 

Terlihat beberapa foto yang sudah rusak, lampu yang mati, hingga lantai dan dinding yang dipenuhi noda. Ruangannya pun terasa pengap karena minimnya pendingin ruangan.

Pagelaran Festival Kota Juang bukan semata-mata untuk mengenang Peristiwa Merah Putih belaka, tetapi juga sebagai ajang untuk melestarikan kebudayaan lokal. Itu dapat dilihat dari banyaknya kegiatan kesenian seperti pertunjukan Teater Merah Putih, perlombaan tari tradisional dan lomba bertutur, pameran kerajinan tangan khas daerah, serta permainan tradisional yang diperkenalkan kepada anak-anak. Hadirnya Festival Kota Juang diharapkan mampu mewadahi generasi tua untuk memperkenalkan kesenian dan kebudayaan lokal kepada generasi muda supaya tidak punah karena perkembangan zaman.

Kisah dari Mereka yang Berkunjung

Pada Sabtu (4/2) lalu, Sketsa berkesempatan untuk berbincang dengan salah satu mahasiswi Unmul yang sempat mengunjungi Festival Kota Juang. Ia adalah Seri Ningsih, mahasiswi FKIP 2021. Lahir dan besar di Sangasanga selama nyaris dua dekade lamanya, ini tentu bukan kali pertama dirinya merasakan euforia Festival Kota Juang. Meskipun hanya berbincang melalui sambungan telepon, ia begitu antusias mengisahkan pengalamannya ketika mengunjungi festival tersebut.

Dengan keramahannya, perempuan yang akrab disapa Cece ini mengisahkan ketika ia harus berebut kupon pembagian beras untuk jalan santai. Tak ayal, dirinya mengeluhkan komunikasi yang kurang di antara panitia sehingga membuat sejumlah masyarakat termasuk dirinya kebingungan karena informasi yang didapat simpang siur. Tak hanya itu, ia turut mengeluhkan panitia yang tidak cekatan dalam membagikan kupon doorprize sehingga membuat para peserta berdesakan.

“Seharusnya dari awal sudah dibuat dua tempat untuk pembagian kupon doorprize supaya tidak chaos,” keluhnya.

Baginya, euforia perhelatan Festival Kota Juang di tahun-tahun sebelumnya, khususnya sebelum pandemi, lebih terasa meriah dibandingkan tahun ini. Itu dapat dilihat dari jumlah peserta napak tilas yang lebih banyak karena terdapat peserta yang berasal dari luar kota. Sebaliknya, jumlah peserta kali ini jauh lebih sedikit dan hanya diikuti oleh penduduk lokal saja.

“Selain itu, harga tiket masuk wahana permainan dan makanan yang dijual di sana juga lebih murah kalau di tahun-tahun yang lalu,” ucapnya sembari terkekeh.

Harap Cece, panitia Festival Kota Juang kedepannya dapat mempersiapkan acara tersebut dengan lebih matang agar meminimalisir kejadian serupa. Terlepas dari kekurangan yang ada, Cece menilai bahwa Festival Kota Juang sudah terlaksana dengan cukup baik.

“Saya juga mau berterima kasih untuk semua pihak yang mensponsori acara jalan santai kemarin, karena hadiahnya sangat bermanfaat, seperti beras dan tiket umroh,” tuturnya.

Kisah lainnya datang dari Nur Karmeilia, perantau asal Enrekang, Sulawesi Selatan. Festival Kota Juang tahun ini jadi kali pertama bagi dirinya, sebab ia baru menetap di Sangasanga selama sepuluh bulan terhitung sejak Maret 2022 lalu. Dengan antusias, ia menceritakan pengalamannya selama mengunjungi Expo Merah Putih.

“Seru sekaligus menambah pengetahuan, karena banyak stan dari berbagai dinas yang ada di Kukar. Apa lagi ada juga dinas yang menjual aksesoris. Banyak juga kios yang menjual makanan, pakaian, dan oleh-oleh khas Kalimantan,” kenangnya ketika diwawancarai Sketsa pada Sabtu (4/2) lalu.

Perempuan yang akrab disapa Lia itu juga sempat menyambangi Museum Perjuangan Merah Putih. Kepada Sketsaia turut menyayangkan keadaan museum yang kurang terawat.

“Semoga ke depannya museum itu bisa dirawat dengan lebih baik, karena di sana, kan, menyimpan peninggalan bersejarah yang harus diapresiasi.”

Menyoal kinerja panitia mengorganisir perhelatan acara, ia berharap pelaksanaan Expo Merah Putih dapat lebih maksimal. Misalnya saja dengan mengelompokkan kios yang menjual barang sejenis.

“Misalnya kalau seluruh penjual makanan itu ada di deretan yang sama, terus yang jual pakaian dikumpulkan di seberangnya. Biar kita sebagai pembeli lebih mudah mencari kios yang kita mau,” harapnya.

Julukan Kota Juang terhadap Sangasanga ini bukan tanpa sebab. Kota yang dikenal akan sumber minyaknya yang kaya sejak era kolonial ini menyimpan banyak situs bersejarah yang tersebar di seluruh kota. Mulai dari Tugu Pembantaian, Penjara Kolonial Belanda, Taman Makam Pahlawan Wadah Batuah, Situs Gunung Selendang, gua Jepang, hingga sumur minyak Louise 1. Bagi kamu yang tertarik mengunjungi Sangasanga dan ingin menyaksikan Festival Kota Juang, pastikan untuk tidak melewatkannya pada tahun depan, ya! (dre/ems)




Kolom Komentar

Share this article