Berita Kampus

"Yang Saya Pahami Aksi itu Enggak Ada Izin"

Encik Akhmad Syaifudin selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni menanggapi pernyataan Norman Iswahyudi, Presiden BEM KM Unmul terkait sikap diamnya saat Norman ditangkap pihak Intelkam, Kamis (12/1) lalu. (Foto: Khajjar Rahmah)

SKETSA - Aksi Bela Rakyat 121 pada Kamis pekan lalu menimbulkan beragam reaksi dari berbagai pihak. Kepolisian yang bertindak represif kepada massa aksi, masyarakat sekitar yang merasa terganggu hingga penangkapan dan pemukulan 16 aktivis mahasiswa.

Sehari pasca-aksi tersebut, pada Jumat (13/1) Presiden BEM KM Unmul, Norman Iswahyudi menulis kronologi panjang terkait penangkapannya oleh pihak Intelkam dan Polresta Samarinda. Dalam tulisan yang ia bagikan lewat akun media sosial miliknya itu, Norman menyatakan kekecewaannya pada pihak birokrat kampus.

Terutama kepada Encik Akhmad Syaifudin selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni yang telah dianggap sebagai orangtuanya mahasiswa. Encik hanya bisa diam ketika Norman dibawa polisi di depan matanya.

"Dalam situasi itu, saya berharap WR III bisa angkat bicara. Namun kecewanya sebagai sosok orang tua kami di kampus, tidak melakukan pembelaan sama sekali dan cenderung merelakan saya untuk ditahan," tulis Norman.

Tetapi, Encik mengatakan bahwa dia tidak diam saja saat Norman ditangkap. Dia mengaku telah berupaya untuk menemui massa aksi di Jalan Meranti. Dia hendak memastikan bagaimana kabar Norman.

“Kasat menyampaikan Norman diamankan di mobil. Saya jadi lega. Enggak dikeplok-keplok,” kata Encik, Selasa (17/1) kemarin.

Berikut transkrip wawancara Sketsa bersama Encik di ruang kerjanya.

Apa tanggapan Anda mengenai kronologis penangkapan Norman dan tuduhan menjebak?

Terkait itu, begini ya waktu itu kami rapat soal Munas (Musyawarah Nasional) di tengah rapat saya diberitahu oleh staf ada polisi mau ketemu. Sudah polisi datang baru saya nanya Norman.

“Eh, Man, kamu ada aksi kah hari ini?”

Dia jawab, “Iya, Pak siang ini.”

Ini ‘kan saya enggak tahu nih, rencananya seperti apa. Kalau seperti itu, (kira-kira) berpotensi ndak saya menjebak? Selesai rapat itu saya tahan Norman untuk tanya bagaimana ceritanya dan bersamaan dengan itu polisi masuk. Ditanya, apakah sudah ada izin? Katanya, sudah. Ternyata izinnya baru satu hari sebelum aksi padahal aturannya tiga hari.

Anda diam saja ketika Norman ditangkap?

Yang perlu diketahui oleh Ananda semua adalah saya tidak tinggal diam pada saat itu. Setelah Norman pergi saya memastikan dengan Kasat Intelkam. Saya temui di lapangan. Kasat menyampaikan Norman diamankan di mobil. Saya jadi lega. Enggak dikeplok-keplok. Cuma memang tidak bersama teman-temannya.

Apa ada tekanan dari Intelkam dan Polresta Samarinda?

Enggak ada. Mereka hanya minta mahasiswa ditahan karena tidak ada izin. Tapi itu bukan komando dari saya. Saya tidak bisa menahan mereka. Makanya saya sedih juga disebut menjebak. Tapi enggak papa, itu jadi pembelajaran bagi saya ke depan kalau ada aksi, mahasiswa harus lapor agar saya bisa bertindak sebagai fasilitator.

Bagaimana pandangan Anda atas sikap aparat yang represif?

Yang saya pahami aksi itu enggak ada izin. Kalau tindakan represif saya enggak lihat. Kalau gas air mata, iya, saya ingin memastikan anak-anak aman. Ini terjadi karena komunikasi kurang lancar jadi kedua belah pihak tidak memahami kondisi masing-masing. Saya tidak bisa menyatakan siapa yang salah.

Apa Anda tahu aksi lanjutan pada Senin (16/1) lalu? 

Saya enggak tahu informasinya. Tapi, memang ada yang bertanya ke saya apa ada polisi lagi ke sini karena katanya ada aksi. Saya bilang enggak ada. (krv/rrd/wal)



Kolom Komentar

Share this article