Berita Kampus

Uji Publik Satgas PPKS Berakhir, Menanti Langkah Unmul Memberi Ruang Aman Bagi Korban Kekerasan Seksual

Berakhirnya uji publik Satgas PPKS Unmul

Sumber Gambar: Website Unmul

SKETSA Panitia Seleksi Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Pansel PPKS) telah melakukan Uji Publik Calon Satgas PPKS. Berbeda dengan Uji Publik Pansel yang dilakukan dengan mengundang sejumlah pihak secara langsung, kali ini Uji Publik Satgas PPKS dilakukan dengan menyebarkan Google Form sejak 26 hingga 30 Agustus 2022.

Pada Rabu, 31 Agustus lalu Pansel diketahui telah memberikan rekomendasi nama-nama Satgas PPKS Unmul kepada Encik Akhmad Syaifudin, WR 3 Bidang Kemahasiswaan dan Alumni. Sebanyak 463 masukan dari civitas academica Unmul telah diproses, dan kini menunggu surat keputusan rektor.

Sketsa mewawancarai Agustina Wati selaku Ketua Pansel Satgas PPKS. Dalam menyaring calon anggota Satgas PPKS, ia menerangkan bahwa terdapat beberapa tahapan mulai dari masa pendaftaran, proses seleksi berkas dan wawancara, hingga uji publik. Dalam menyaring sejumlah nama, panitia seleksi mengaku berpegang pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi.

“Selain karena berakhirnya masa tugas, keanggotaan seseorang dalam satuan tugas berakhir bila ia meninggal dunia, mengundurkan diri, tidak lagi memenuhi unsur keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota satgas sebagaimana yang dimaksud Pasal 29, misal: terbukti melakukan kekerasan/melanggar tata tertib kampus/melanggar kode etik satuan tugas,” paparnya saat ditanya ihwal kredibilitas anggota Satgas PPKS, Selasa (30/8).

Mereka yang Lolos Menjadi Calon Satgas PPKS

Salah satu calon Satgas PPKS yang merupakan dosen dan kepala program studi Administrasi Publik, Fajar Apriani, mengaku kerap mengikuti isu kesetaraan gender dan perempuan di ruang publik, keahliannya dalam kebijakan publik juga dinilai dapat menjadi nilai tambah.

“Maka dengan adanya kewajiban pembentukan Satgas PPKS di lingkungan kampus dari Mendikbud Ristek, saya tergerak untuk mencoba berkontribusi dalam upaya pemenuhan hak pendidikan tinggi yang aman dan memberikan kepastian hukum melalui langkah tegas ini,” tulisnya melalui pesan teks Whatsapp, Selasa (30/8).

Harapnya pembentukan Satgas ini tak hanya formalitas, tetapi benar-benar menjadi upaya konkret kampus untuk mengentaskan kasus kekerasan seksual sehingga dapat memenuhi hak civitas academica guna memperoleh lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman dari berbagai bentuk kekerasan.

“Satgas PPKS harus benar-benar difungsikan sebagai pusat pencegah kekerasan seksual di kampus sekaligus pusat penanganan yang sesungguhnya. Tentu tidak mudah mewujudkannya, apalagi ini merupakan gebrakan pertama dalam upaya itu, namun bukan berarti mustahil untuk dilakukan mulai saat ini."

Kredibilitas calon Satgas PPKS ini menjadi sorotan untuk terjaminnya ruang aman di kampus. Lisda Sofia, dosen dari Prodi Psikologi sekaligus calon Satgas PPKS pernah menjelaskan orientasi seksual, pada konteks ini LGBT, merupakan penyimpangan. (Baca: Statement Lisda)

Sketsa kemudian bertanya bagaimana sikap yang akan ia ambil ketika dirinya terpilih dan menghadapi kasus yang menyangkut kelompok dengan orientasi seksual berbeda. Baginya, pernyataan itu berangkat dari pengalamannya sebagai dosen. Adapun hal tersebut tidak memengaruhi profesionalitas dalam pelayanan yang diberikan. “Apa pun latar belakang dan kondisinya, tetap memiliki hak memperoleh pendampingan dan penanganan,” ungkapnya Selasa (30/8) lalu.

“Sebagai psikolog, saya pun pernah menangani klien lesbi dan sebagai dosen, mahasiswa saya juga ada yang bisex. Saya tetap menjalankan tugas sesuai dengan koridor profesional yang ada. Bahwa LGBT adalah penyimpangan, iya saya tetap meyakini itu. Namun, dalam hal menjalankan peran keprofesian baik sebagai psikolog maupun anggota Satgas nantinya, saya pastikan hal tersebut tidak akan memengaruhi profesionalitas pelayanan yang diberikan,” tutup Lisda.

Pada waktu yang sama, Muhammad Al Fatih, salah satu mahasiswa Ilmu Komunikasi 2022 yang lolos seleksi, mengaku dalam wawancaranya bersama Sketsa, ia mendaftarkan diri berangkat dari pengalamannya di masa lalu. Seorang teman mengidap skizofrenia akibat kekerasan seksual yang dialami semasa kecil. Hal itu membuatnya meyakini, korban kekerasan seksual akan mengalami kejadian traumatis dan perlu pendampingan khusus.

“Dari pengalaman itu saya sadar, bahwa pelecehan seksual bisa terjadi sama siapa aja. Enggak perempuan doang, laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual."

Fatih menuturkan pengalaman dalam mendampingi korban membuat sejumlah nama lolos menjadi calon anggota Satgas, termasuk dirinya. Pasalnya sebelum mendaftarkan diri, ia berbekal pengalaman lewat komunitas pendukung korban kekerasan seksual, Savrinadeya Support Group, komunitas kolaborasi mahasiswa psikologi, hukum, dan ilmu budaya.

Ruang Aman Bagi Korban

Ruang aman akan didorong oleh teman-teman Satgas PPKS, dengan berkoordinasi kepada pimpinan fakultas dan pihak terkait. Sehingga korban akan merasakan keamanan dan ketenangan dalam menyampaikan aduan kepada Satgas PPKS nantinya, dalam berkegiatan di kampus. Hal itulah yang disampaikan Agustina di sela-sela wawancaranya kala itu.

Lisda turut menyampaikan kesadarannya jika menjadi bagian dari Satgas PPKS, menjamin ruang aman artinya menjamin dan menjaga kerahasiaan, melakukan pendampingan, sampai mengadvokasi kasus. Hal itu sebagaimana kewenangan dan kapasitas anggota Satgas PPKS ke depannya.

Selain itu, Fatih menambahkan, ruang aman untuk civitas academica ini juga harus sejalan dengan aspek psikis yang akan ditanggung korban. Tak dimungkiri pemulihan korban kekerasan seksual menjadi ruang lingkup yang akan dijalankan oleh Satgas PPKS, sebagaimana Permendikbud PPKS 30/2021 mengatur. (sya/dre/mar/nkh).

 



Kolom Komentar

Share this article