Berita Kampus

Suara Para Pengguna Cadar di Unmul

Ilustrasi (Sumber: Istimewa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Diskriminasi terhadap kaum perempuan yang mengenakan cadar di institusi pendidikan kembali mencuat. Menyusul keluarnya larangan penggunaan cadar di lingkungan kampus--dengan kedok pembinaan--dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Suasana gaduh, banyak pihak lantas memberikan komentar dan mengecam aturan ini. Menyadari polemik yang terjadi, belakangan Rektor Yudian Wahyudi lewat surat tanggal 10 Maret 2018 memutuskan mencabut larangan tersebut.

Selesai satu, mengemuka lagi yang lain. Kali ini muncul temuan serupa di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi di Sumatra Barat. Kebijakannya mirip-mirip, yakni mengimbau dosen dan mahasiswinya untuk tidak mengenakan cadar di lingkungan akademik. Larangan itu tertuang dalam surat edaran tertanggal 20 Februari 2018 yang ditandatangani dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Bukittinggi.

Tentu saja, hal seperti ini menyesakkan bagi mereka yang telah memutuskan menggunakan cadar.

“Tapi itu juga salah satu ujian untuk yang memakai cadar, karena tidak semua orang bisa menerima keputusan yang kita buat,” kata Wahyuni Safiri, salah satu mahasiswi pemakai cadar di Unmul.

Mahasiswi angkatan 2015 ini menjelaskan ada banyak perbedaan pendapat soal cadar, bahkan oleh para alim ulama sekalipun. Tetapi Yuni mengaku heran dengan keputusan untuk melarang, dengan dalih mengimbau, untuk melepaskan cadar. Sebab menurutnya setiap orang punya pilihan dan haknya masing-masing.

Yuni telah menggunakan cadar hampir setahun terakhir ini. Ia menilai tidak ada yang salah dengan penggunaan cadar di kampus. Selain untuk menjaga diri, mahasiswi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ini juga merasa telah menemukan ketenangan dengan menggunakan cadar.

Apa yang terjadi di UIN Sunan Kalijaga dan IAIN Bukittinggi, untungnya tidak terjadi di Unmul. Sejauh ini, kata Yuni, ia tidak pernah menerima tindakan diskriminasi di kampus sejak memutuskan untuk bercadar. Namun, ia tak menampik akan anggapan miring di luar kampus yang masih acap terdengar di telinganya

“Itu menjadi salah satu dukanya, seperti dikatain kalau bercadar ke Arab saja, bercadar enggak boleh salah, seperti ninja atau teroris. Jadi dipandang sebelah mata,” ungkapnya.

Setali tiga uang dengan Yuni, Nurtiaz Mumtaziah Ramadhan atau biasa disapa Tiaz, mengaku belum pernah menerima perlakuan diskriminatif di lingkungan kampus Unmul. Tiaz adalah mahasiswa baru 2017 yang memutuskan mengenakan cadar sejak masuk di dunia perkuliahan.

Keputusannya ini memperoleh dukungan penuh dari sang ayah. Namun, Tiaz tetap harus berjuang menghadapi keluarga besarnya yang lain--yang masih belum terbiasa dengan keputusan Tiaz menggunakan cadar.

“Kakek, nenek, dan umi tidak setuju saya pakai cadar. Karena saat itu sedang gencar-gencarnya dibilang teroris, tapi saya tetap kekeuh sama pendirian saya. Satu-satunya yang mendukung abi saya,” katanya.

Meski bercadar sudah menjadi keputusannya, Tiaz mengaku kurang begitu bisa bersosialisasi. Dalam artian, ia kurang bisa menonjolkan diri di hadapan umum. Segala tindakan yang ingin ia lakukan, kembali ia pikirkan, apakah sudah sesuai atau tidak dengan penampilannya yang menggunakan cadar. (adl/nit/wal/aml)



Kolom Komentar

Share this article