Berita Kampus

Sengketa FMIPA-FKTI, Tak Ada Ruangan Tanpa PNBP 30%

Rektor Masjaya mengeluarkan sebuah surat keputusan berisi Petunjuk Teknis penggabungan prodi Ilmu Komputer di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dengan Fakultas Teknologi Informasi. (Sumber ilustrasi: hukumonline.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Setahun lalu pada 3 Maret 2016, rektor Masjaya mengeluarkan sebuah surat keputusan bernomor 279/DT/2016. Surat itu berisi Petunjuk Teknis penggabungan prodi Ilmu Komputer di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dengan Fakultas Teknologi Informasi. Untuk selanjutnya memunculkan fakultas yang akan dinamai Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi (FKTI). 

Surat tersebut menimbang bahwa untuk tertib administrasi dan kelancaran pelaksanaan pembentukan FKTI, maka dipandang perlu dibuat Petunjuk Teknis pelaksanaan. Sekaligus di dalamnya memutuskan dan menetapkan Petunjuk Teknis sebagai acuan dan pedoman bagi pihak-pihak terkait, yakni FMIPA dan FKTI untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. 

Maka begitulah, konsiderans itu masih berlaku hingga hari ini. Menjadi satu-satunya petunjuk resmi yang bisa digigit oleh geraham kedua fakultas. Sehingga kala Idris Mandang, Dekan FMIPA dengan keras menolak FKTI memakai ruangan kelasnya untuk Ilmu Komputer, padahal tidak menyertakan 30% dana prodi untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) FMIPA, itu menjadi sesuatu yang runcing bagi kelancaran kerja sama kedua fakultas. 

(Baca: http://sketsaunmul.co/berita-kampus/menilik-mutualisme-antara-fkti-dan-fmipa/baca) 

Sebab, hal ini berkaitan dengan bagian Sarana dan Prasarana yang termaktub di Petunjuk Teknis. Di butir 3 dan 4, masing-masing menyebutkan bahwa pendidikan Ilmu Komputer dan dosen sebagai pengajar bisa menggunakan ruangan di FMIPA, tetapi tetap di bawah koordinasi FMIPA. Dengan catatan butir itu baru berlaku jika butir 2 di bagian Keuangan telah ditunaikan. Dan di bagian itu ditulis, 

“Alokasi PNPB Tuition untuk Program Studi Ilmu Komputer pada FMIPA, berdasarkan penjelasan pada bagian D butir 3 dan 4, akan dibagi dengan porsi 30% untuk alokasi PNPB FMIPA dan 70% untuk alokasi PNPB FKTI, sesuai peraturan perundangan yang berlaku.” Dalam wawancaranya kepada Sketsa, Idris tak mau ambil pusing soal dana tersebut meskipun nilainya cukup besar. 

Waktu masih di bawah naungan FMIPA, pada 2015 dan 2016 Ilmu Komputer mempunyai dana Rp800 juta yang turun tiap tahun. Apabila di tahun ini bersama FKTI, Ilmu Komputer masih menerima besaran yang sama, berarti 30% yakni Rp240 juta mestinya menjadi milik FMIPA. Namun, dana itu kini tak lagi mengalir ke kantung FMIPA. Dengan tiadanya 30% jatah FMIPA ini pula, kata Idris, membuat dana FKTI menjadi surplus. Ia menganggap “teman-teman dari Ilmu Komputer” memang tak berusaha memikirkan tentang alokasi dana ke FMIPA. 

Sementara di rektorat palu sudah diketuk untuk Rancangan Bisnis Anggaran (RBA) 2017. Sehingga kalaupun nanti FKTI hendak melakukan proses pemindahan anggaran, itu akan menjadi sesuatu yang repot dan urusannya ada di Wakil Rektor IV. “Saya enggak tahu. Artinya orang yang punya kepentingan yang harus mengusahakan ini. Bukan kami sebagai penerima,” ucapnya.

Menurut kesaksian Idris, sejak memasuki 2017, FKTI memang belum pernah mengajak diskusi soal ajuan kerja sama mengenai lanjutan kuliah di FMIPA. Lagi-lagi sebenarnya itu tak masalah, FMIPA dalam hal ini tak berhak menyurati FKTI untuk bilang agar berkuliah di ruang kelas mereka. 

“Saya tahu bahwa teman-teman Ilkom dulunya mahasiswa MIPA juga. Pilihan dia untuk jadi fakultas, bukan pilihan dari sini,” ujarnya. 

Waktu masih di FMIPA, Ilmu Komputer tidak punya masalah soal ruangan. Bahkan, prodi ini memiliki tiga lab yang siap digunakan untuk belajar. Maka tatkala mereka hijrah, ketiga lab itu mulai dialihkan. Satu lab diberikan kepada prodi Matematika, satu ke prodi Fisika, dan satunya lagi dibawahi langsung oleh fakultas.

Tetapi, kini Ilmu Komputer bukan lagi milik FMIPA. Semuanya menjadi berbeda, kecuali pemahaman bahwa keuangan adalah kunci. 

“Misalnya ini loh, ada uang entah dikasihkah (atau tidak) uang itu (lalu) disuruh melayani, mau enggak? Pikiran orang di sini pahalanya nanti terlalu banyak, kelewatan surganya akhirnya neraka lagi dapatnya,” pungkasnya. (wal/aml)



Kolom Komentar

Share this article