Relevansi Budaya Perpeloncoan di Perguruan Tinggi: Sejumlah Fakultas Masih Pertahankan Tradisi Ini
Praktek perpeloncoan kerap menjadi isu di lingkungan kampus
- 26 Oct 2024
- Komentar
- 233 Kali
Sumber Gambar: Arsip Sketsa
SKETSA – Budaya perpeloncoan dalam masa orientasi mahasiswa baru masih menjadi topik hangat di lingkungan pendidikan tinggi Indonesia. Apalagi mulai memasuki musim kaderisasi. Meski berbagai pihak memandang tradisi ini sebagai bagian dari penyambutan dan pengkaderan mahasiswa baru, dampak negatifnya sering kali tidak dapat diabaikan. Awak Sketsa berhasil mewawancarai mahasiswa dan dosen Unmul untuk berbagai pandangan mereka terkait fenomena ini.
Bilal Zacky Vilareal, mahasiswa FISIP ini menyebut bahwa setiap fakultas memiliki metode pengkaderannya masing-masing.
“Dari beberapa fakultas itu punya tradisi atau budaya yang biasa mereka lakukan saat pengkaderan, baik di tingkat fakultas maupun himpunan. Kalau ada yang menganggap itu sebagai perpeloncoan, itu lebih tergantung pada sudut pandang mahasiswa baru,” ujar Bilal dalam wawancara langsung pada (20/10).
Bilal, yang saat ini menjabat sebagai staf eksternal di Himpunan Mahasiswa Bisnis, mengakui bahwa ia pernah mengalami perlakuan yang oleh sebagian orang mungkin dianggap sebagai perpeloncoan. Namun, ia berpendapat bahwa yang terjadi di FISIP Unmul tidak termasuk perpeloncoan melainkan bagian dari penyambutan.
"Di FISIP sendiri, setiap tindakan harus ada rasionalisasi dan tujuannya. Selama tidak ada kekerasan fisik, kami anggap itu masih dalam batas wajar," imbuhnya.
Di sisi lain, Andi Fatih Rahmaniar, anggota BEM Farmasi Unmul, memiliki pandangan yang berbeda mengenai perpeloncoan. Sebagai Koordinator Wilayah Ismafarsi Kalimantan, ia menjelaskan bahwa perpeloncoan di Farmasi tidak menjadi isu yang menonjol.
“Di Farmasi Unmul, kami punya standar operasional nasional yang lebih mengutamakan kualitas pengkaderan daripada senioritas,” kata Andi saat ditanyai pada (12/10).
Andi mengakui bahwa meskipun tujuan dari pengkaderan adalah melatih mental, tidak semua senior memiliki keahlian untuk memahami kondisi psikologis mahasiswa baru.
"Kita enggak tahu apakah senior itu seorang psikolog yang bisa memahami mental mahasiswa baru," ungkapnya.
Hardoko, dosen FKIP Unmul memberikan perspektif akademis mengenai fenomena perpeloncoan. Ia menegaskan pentingnya penghapusan budaya perpeloncoan di lingkungan pendidikan tinggi.
Dalam wawancara melalui telepon (19/10) dengan awak Sketsa, Hardoko menjelaskan bahwa perpeloncoan merupakan bentuk kekerasan yang sudah tidak relevan di era modern ini.
“Perpeloncoan itu sebenarnya sudah ada sejak zaman penjajahan dan menjadi bentuk kekerasan fisik maupun mental. Namun, prinsip pembinaan karakter harus bertumpu pada ketegasan, bukan kekerasan,” jelasnya.
Ia menilai bahwa dalih perpeloncoan untuk memperkuat mental mahasiswa baru adalah pandangan yang keliru. Menurutnya, ketegasan tanpa kekerasan adalah kunci dalam membangun mental yang kuat.
Hardoko juga menekankan bahwa perpeloncoan tidak hanya melanggar prinsip pendidikan karakter, tetapi juga menimbulkan konsekuensi hukum, fisik, dan moral. Ia mengingatkan bahwa kekerasan semacam ini dapat berujung pada kasus pelecehan atau bahkan ancaman hukum bagi pelaku.
"Mahasiswa yang melakukan perpeloncoan bisa terkena sanksi berat, termasuk dipenjara jika ada korban yang terluka," tegasnya.
Sebagai solusi, Hardoko menyarankan agar pengenalan kampus dilakukan melalui kegiatan-kegiatan positif yang membangun, seperti olahraga, kerja bakti, atau pentas seni, yang melibatkan seluruh mahasiswa baru tanpa unsur kekerasan.
“Orientasi mahasiswa seharusnya menjadi ajang pengenalan kampus dan bukan diserahkan kepada senior yang punya niat buruk. Harus ada kegiatan nyata dari universitas untuk mengubah budaya ini,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa praktik perpeloncoan masih terjadi di beberapa fakultas di Unmul.
“Saya mendengar bahwa perpeloncoan masih terjadi, meski kini sudah ditindak oleh pihak universitas,” ungkapnya.
Meski demikian, ia menekankan pentingnya pengawasan yang lebih ketat dari dekanat dan prodi agar praktik ini benar-benar dihentikan.
Budaya perpeloncoan di lingkungan pendidikan tinggi, terutama di Unmul, masih menjadi isu yang kompleks. Di satu sisi, tradisi pengkaderan dianggap sebagai cara untuk menyambut mahasiswa baru dan melatih mental mereka dalam menghadapi dunia perkuliahan.
Namun, di sisi lain, dampak negatif seperti senioritas dan tekanan psikologis menjadi perhatian utama yang harus ditangani oleh pihak universitas dan organisasi mahasiswa. (xel/rla/npl/mar)