Berita Kampus

Mengambang, Audiensi Gagal Menjawab Abu-Abu KKN 43

Audiensi pertama BEM KM Unmul dan BEM se-Fakultas dengan LP2M masih belum menemukan kejelasan yang diinginkan. (Foto: Amelia Rizky)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Audiensi yang digelar BEM KM Unmul dan BEM se-fakultas bersama LP2M pada Jumat (24/2) tampak seirama dengan cuaca di luar jendela--mendung. Forum yang diharapkan dapat mencuatkan kejelasan perihal KKN 43, nyatanya tidak sesuai dengan apa yang menjadi target konsolidasi yang digelar sehari sebelumnya.

Tidak alot namun mengambang, audiensi dimulai pukul 14.30 Wita dengan dibuka pemaparan Ketua LP2M Unmul Susilo tentang jenis dan syarat KKN 43. Lalu dilanjutkan Burhan, Bendahara LP2M yang menerangkan variable cost  Rp350 ribu sebagai prasyarat administrasi mengikuti KKN. Penjelasan tentang transparansi itu mencuri atensi. Untuk diketahui, kebijakan KKN berbayar ini merupakan amanat dari SK Rektor Nomor 197/SK/2017 tertanggal 13 Februari 2017.

“Bisa dilihat di layar, inilah komponen yang termasuk dalam Rp350 ribu. Pertama, ada pembiayaan untuk atribut mahasiswa berupa buku pedoman di lapangan, catatan harian untuk laporannya, sertifikat, dan spanduk biayanya Rp75 ribu. Kemudian ini biaya observasi lapangan, perjalanan dosen pembimbing ke lapangan, tim monitoring, dan panitia. Ini memang cukup besar biayanya yaitu Rp185 ribu. Lalu ada dana operasional KKN dan pra-KKN sebesar Rp50 ribu. Dana ini untuk koordinasi antar instansi. Terakhir dana pembekalan, administrasi, pelaporan, dan asuransi sebesar Rp40 ribu. Ini secara umum yang bisa saya sampaikan, kalau nanti berkembang, nanti saya bisa jelaskan rinci,” papar Burhan.

Guna menguatkan argumentasinya, Burhan memberikan contoh pembayaran KKN mahasiswa di Universitas Palangkaraya tahun 2009 yang mencapai Rp1 juta lebih. Contoh beserta transparansi lengkapnya itu ditampilkan pula di layar. “Kalau mau dibandingkan, Rp350 ribu ini cukup kecil untuk kita gunakan KKN,” imbuhnya.

Pemaparan rincian maupun contoh yang diberikan Burhan, ditanggapi oleh mahasiswa. Pada 2016 lalu terbit variable cost UKT sebagai hasil audiensi BEM KM Unmul dengan Abdunnur, Wakil Rektor II. Di dalamnya tertuang tiga unsur KKN yang masuk dalam UKT yakni penilaian, supervisi, dan pembekalan KKN. Namun, ketiga unsur ini malah dimasukkan dalam komponen yang wajib dibayar mahasiswa calon peserta KKN jika ditilik dari pemaparan Burhan.

Ketua BEM FEB, Aditya Ferry menyebut muara permasalahan KKN 43 cuma satu, yakni berbayar. Membandingkan komponen UKT dari WR II dengan peruntukan Rp350 ribu, ia menyebut kebijakan terbaru ini menyalahi aturan sekalipun telah dikeluarkan SK sebagai dasar yang absah.

“Apabila kita tinjau dari kebijakan variable cost UKT itu sendiri untuk KKN ini diatur dan masuk dalam kategori SDM yaitu penilaian, supervisi, dan pembekalan KKN. Tetapi setelah kami mengamati pemaparan yang Bapak sampaikan tadi, pembekalan dan sebagainya itu masuk dalam pembayaran. Ini sudah menyalahi aturan. Bisa Bapak cek, biaya pembekalan ini masuk dalam pembiayaan UKT yang kami bayarkan. Selain itu, APBD tahun lalu juga defisit tapi tidak dipotong, sedangkan tahun ini dipotong dan berimbas ke KKN. LP2M dan rektorat tidak memiliki rencana strategis ketika ada pemotongan tadi. Tahun depan di prediksi defisit lagi. Informasi berbayar pun terlalu cepat. Bagi sebagian mahasiswa Rp350 ribu ini berat, minimal 350 ini dikurangi karena terlalu mahal,” ucapnya.

Mengacu pada Permendikbud Nomor 55 pasal 1 ayat 3 tahun 2013 yang secara terang menyatakan UKT sebagai biaya tunggal yang mesti dibayar mahasiswa, Presiden BEM KM Unmul, Norman Iswahyudi mempertanyakan keberadaan uang mahasiswa angkatan 2014 pada tahun 2015. Ia mencoba maklum dengan kemunculan Permenristekdikti Nomor 39 pasal 9 ayat 1b yang agak kontradiktif dengan Permendikbud dengan tidak menempatkan biaya KKN dalam komponen pembiayaan UKT.

“Angkatan 2014 sudah kena UKT, di Permendikbud ada variabel cost untuk biaya KKN. Terus muncul Permenristek, lalu ke mana uang mereka tahun 2015 ketika uang mereka tidak termasuk KKN yang kebijakannya keluar baru tahun 2016?” ujarnya.

Lalu ada Wakil Ketua BEM FKTI, Abdul Azis yang ikut menyampaikan hasil audiensinya bersama Nataniel Dengen, dekan FKTI. Ia menyebut bahwa KKN Reguler mestinya tak berbayar karena terdapat potongan Rp50 ribu tiap semester untuk KKN. Yang mana jika dijumlahkan hingga semester tujuh akan diperoleh besaran Rp350 ribu. Dengan begitu, mahasiswa seharusnya tak perlu membayar lagi. Azis juga mengeluhkan tidak adanya sosialisasi tentang SK Rektor perihal kebijakan KKN berbayar. Perihal contoh dari Burhan, ditanggapi oleh Azis kritis.

“Kalau mengambil contoh angkatan 2009 yang bayar KKN Rp1,25 juta, tidak bisa dijadikan contoh, Pak. Itu masih belum sistem UKT, ngapain kita lihat? Sekarang ini sistemnya UKT,” selorohnya.

Tanggapan lain datang dari Presiden BEM FISIP, Nur Hariyani. Yani mempertanyakan mengapa KKN berbayar padahal tergolong mata kuliah wajib. Ketika suatu mata kuliah itu jenisnya wajib, menurutnya itu sudah menjadi tanggung jawab universitas. “Kenapa tiba-tiba dicabut? Jangan sampai kami ini dipermainkan!” tegasnya.

Tanggapan-tanggapan itu ditampung Susilo untuk kemudian dia jawab. Susilo mengungkapkan, variable cost yang dimaksud mahasiswa itu sudah berkali-kali dia bahas dengan WR II. Pihaknya dibuat khawatir karena “lempar-lemparan” wewenang antara pihak rektorat dengan para dekan fakultas. Tak mau pasrah, ia akhirnya berkonsultasi dengan rektor tentang hal ini. Dan rektor mengambil kebijakan untuk KKN tahun ini berbayar saja.

“Dia (WR II) mengatakan UKT ada di fakultas. Tapi ketika saya bicara dengan para dekan, mereka bilang sebaliknya. Beberapa dekan bahkan mengatakan, ‘tidak bisa, masa dari kami uangnya’. Karena berlarut-larut, saya khawatir tidak ada keputusan nanti akhirnya tidak ada KKN. Akhirnya saya bicara dengan rektor dan dia bilang, ‘sudah, suruh aja mahasiswa bayar’,” ungkap Susilo.

Kendati demikian, Susilo masih ingin mempertimbangkan suara mahasiswa. Jika mahasiswa keberatan dengan besaran itu, ia akan bernegosiasi kembali dengan pihak rektorat. Ia juga menyebut tahun ini LP2M tak lagi mendapatkan anggaran untuk KKN, sementara pihaknya juga yang harus mengurusi penelitian dosen sehingga anggaran yang ada mesti dibagi dan itu tak cukup untuk KKN gratis.

“Kebijakan berbayar ini dari atas, kami hanya pelaksana. Berbayar ini juga nanti sistem subsidi silang. Pak rektor bilang kalau mahasiswa keberatan, kita undang lagi dekan-dekan, tapi saya tidak menjamin pertemuan itu memutuskan sesuatu. Sementara April sudah harus dibuka KKN. Konsekuensinya jika ada perundingan lagi pembukaan KKN mundur lagi. Bantu saya menyampaikan ini ke rektor dan WR II,” ucapnya.

Kejelasan Sementara KKN 43

Susilo memaparkan apa yang bisa dipaparkannya tentang KKN 43 sejauh ini. Ada empat wilayah yang telah dipastikan menjadi destinasi tujuan KKN, yakni Samarinda, Balikpapan, Bontang, dan Penajam Paser Utara. Untuk Kutai Timur dan Kutai Kartanegara sedang dalam tahap konfirmasi. Adapun wilayah lain yang sebelumnya termasuk tujuan KKN seperti Berau, Kutai Barat, Tarakan, dan Malinau pada tahun ini ditiadakan dengan alasan berat dalam memberangkatkan dosen pembimbing. Sugianto, Kepala Subbagian Program Data dan Informasi LP2M menyebut daerah yang terlalu jauh itu berat dan sulit untuk evaluasi, oleh sebabnya jalan yang diambil ialah membatasi daerah tujuan KKN.

Sementara untuk KKN Tematik Profesi ditetapkan kelompoknya melalui online, minimal lima orang, dan tema KKN ditetapkan oleh tiap kelompok. KKN Tematik Kompetensi ditetapkan sendiri oleh mahasiswa KKN terdiri dari satu fakultas dan bisa lintas fakultas, termasuk lokasi dan tema KKN. Dengan jumlah kelompok minimal 5-15 orang dan lokasi KKN Tematik Kompetensi meliputi dinas/instansi Pemda, kelembagaan legislatif/yudikatif, lembaga sosial, profesi, perusahaan/perusda/BUMD/BUMN/perbankan, sekolah, dan kelurahan/desa di luar kota KKN Reguler Mandiri.

KKN Kebangsaan dikelola oleh pusat. Sementara KKN internasional lokasi tujuannya Thailand dan biayanya ditanggung sendiri oleh mahasiswa dibuka untuk 5-15 orang. Selanjutnya, ada penyetaraan KKN untuk mahasiswa yang memenangi PKM, mengikuti program pertukaran mahasiswa luar negeri, dan mendapatkan prestasi nasional. Untuk mendapatkan penyetaraan ini mahasiswa bersangkutan menyerahkan bukti tanda terima dari kementerian, menyerahkan laporan hasil kegiatan, menyerahkan sertifikat pertukaran mahasiswa, surat keterangan dari rektor, menyerahkan sertifikat juara, surat undangan kegiatan, surat keterangan dari WR III. Ketiga jenis ini wajib menyerahkan biaya sertifikat KKN. Untuk ke semua jenis tersebut tidak membatasi semester.

“Jika semester 1 sudah punya prestasi, silakan bawa ke sini. Nanti tidak perlu ikut KKN,” ucap Susilo.

Adapun, syarat mengikuti KKN ialah menempuh 110 SKS termasuk yang sedang dijalani. Hal ini, dikatakan Susilo, masih belum bisa dipahami Wakil Rektor I, Mustofa Agung Sardjono. Dalam pernyataannya kepada Susilo, WR I mengira mahasiswa baru bisa KKN ketika sudah menempuh utuh 110 SKS. Meski begitu, keputusan tetap ia serahkan kepada Susilo. Sementara Susilo melihat gelagat WR I yang tidak menghendaki adanya benturan dengan fakultas. Sehingga jika ada fakultas yang tidak bisa menerima keputusan ini dipersilakan oleh Susilo untuk membuat KKN sendiri.

Perihal kuota KKN 43 tak dibatasi berapa pun jumlah pendaftar. Empat ribu yang selama ini tersebar, hanya asumsi perkiraan LP2M saja. Adapun, fakultas yang menyerahkan KKN mahasiswanya untuk ditangani LP2M secara tertulis baru FEB. Namun, secara lisan hampir seluruh  fakultas menginginkan hal yang sama melalui rapat bersama dekan kecuali dengan Fakultas Kesmas, Farmasi, dan Kedokteran.

Keluh Kesah Mahasiswa untuk LP2M

Di audiensi itu pula Norman menumpahkan isi hatinya. Perencanaan KKN tahun ini baginya pelik. Beredar info simpang siur dituduhnya sebagai akibat ulah LP2M. Menurutnya, banyak mahasiswa yang datang ke LP2M lalu menyebarkan informasi berbeda dari apa yang BEM KM dapatkan. Membuat kebingungan mahasiswa jadi beranak pinak.

Tak hanya itu, di mata Norman pihak LP2M juga kerap miskomunikasi. Norman mempertanyakan perencanaan dalam tubuh LP2M kenapa bisa informasi jadi sekabur ini. Ia lantas tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu untuk memberondong LP2M dengan sederet pertanyaan.

“Apakah belum ada perencanaan untuk KKN tahun ini sehingga sudah mepet hari begini masih belum clear? Bagaimana nasib mahasiswa angkatan atas yang belum KKN dan mereka tidak termasuk UKT dan apakah masuk kuota empat ribu? Mohon diperjelas. Lalu, fakultas mana saja yang menyelenggarakan KKN fakultas dan yang menyerahkan ke LP2M?” tanyanya.

Norman juga mengutarakan resah ihwal pembagian ranah kerja BEM KM Unmul dengan LP2M. Baginya, BEM adalah perpanjangan tangan, bukan penyelenggara KKN. Norman menolak keras diminta membantu merumuskan anggaran dan mekanisme KKN oleh LP2M.

Tanya dan tuntutan itu dijawab Susilo gamblang. Menurutnya, yang jadi masalah dalam perencanaan adalah ketika pihaknya merencanakan tapi dana yang dikucurkan rektorat tak sesuai. Rapat tahunan bersama dekan juga tak lepas dari langkah LP2M guna menyukseskan KKN.

“Saya setuju fungsi BEM adalah menyambung lidah. Tapi semangat untuk bersama apa salahnya. Maksud kami jika BEM punya ide untuk nanti jadi kebijakan kami. Bukannya kami mengajak sengsara di sini. Kalau kebijakan tidak mengajak BEM takutnya nanti tidak nyambung. BEM ini diajak bicara, jangan disalahartikan bahwa kami diam dan BEM disuruh berpikir. Ini cara kami,” jelasnya.

Suara selanjutnya terdengar kembali dari Azis dan Ferry. Mereka mengeluhkan pola penyebaran informasi dan komunikasi LP2M. “Ketika masih ada aturan KKN yang belum jelas dan pasti itu jangan dulu disampaikan,” ucap Azis. “LP2M harus profesional soal komunikasi,” imbuh Ferry.

“Komunikasi masih jadi kelemahan kami. Mestinya memang satu orang yang berbicara,” balas Susilo.

Halal Haram KKN Penyetaraan

“Saya tidak bersepakat dengan KKN prestasi dan pertukaran mahasiswa luar negeri. Ini mesti dipilah yang betul-betul menjurus kegiatan sosial dan tentu tidak setara dengan mereka yang mengabdi di masyarakat dengan melaksanakan program kerja. Misalnya anak semester satu sudah menang lomba tapi spesifikasinya tidak memenuhi KKN yang mana ada indikator yang mesti dipenuhi dari KKN yang dimaknai pengabdian masyarakat dan aplikasi Tridarma Perguruan Tinggi,” pekik itu disampaikan Yani.

Susilo balik menanggapi dengan mengatakan KKN Penyetaraan ini  bermaksud untuk mendata prestasi mahasiswa berkaitan dengan kinerja rektor. Berangkat dari arahan Kemenristekdikti yang memuat komponen penilaian berupa semakin banyak prestasi mahasiswa tingkat nasional, maka semakin baik kinerja rektor di pusat.

Selain itu, Encik Akhmad Syaifudin selaku Wakil Rektor III juga belum punya data terkait prestasi mahasiswa. Di samping memang kebijakan ini merupakan inisiatif rektor dan jajarannya. Dari kacamata Susilo pribadi, ia mengatakan ini kebijakan baik sekalipun tidak cocok. Lagi pula yang berhak atas urusan KKN itu universitas bukan Dikti. Adapun, penyetaraan ini tidak tergolong KKN berbayar dan tidak terbatas ada kuota.

Sementara itu, Fitriani Sinaga, Wakil Presiden LEM SYLVA, menginginkan adanya spesifikasi PKM. Sebab sepengetahuannya di dalam PKM ada dua jenis, yakni artikel ilmiah dan gagasan tertulis. Dia pun mempertanyakan kebenaran yang didengarnya dari seorang kawan yang mengatakan mahasiswa Fahutan hanya bisa KKN di wilayah pedesaan dekat hutan dan tidak di instansi.

Susilo lalu menjawab ini dengan santai. Dikatakannya segala jenis PKM yang lolos seleksi atau yang telah dibiayai, maka otomatis lolos KKN setelah memenuhi syarat administrasi dari LP2M. Tak peduli mau PKM jenis apa, begitu pun dengan jenis lombanya. Selama juara tiga besar nasional, maka mahasiswa yang bersangkutan bebas KKN. Sedangkan gerak KKN Fahutan yang disebutkan Fitri dibantah Susilo. Fahutan sama dengan fakultas lain, mahasiswanya bebas memilih di mana mereka ingin ber-KKN.

Sikap BEM se-Fakultas Atas KKN Penyetaraan dan Eskalasi Gerak

Setelah meminta sepuluh menit untuk berdiskusi ke luar ruangan, BEM se-Unmul memutuskan untuk menolak adanya KKN Penyetaraan tahun ini dengan syarat harus ditinjau kembali dengan melibatkan mahasiswa. Sebab jika tidak, dikhawatirkan akan timbul kerancuan. Sikap ini disampaikan Norman selaku perwakilan dari setiap BEM.

Usai audiensi, BEM se-Unmul yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Mulawarman langsung melakukan evaluasi. Dikonfirmasi, Norman mengaku tak puas dan telah bersiap melakukan langkah lanjutan.

“Evaluasi yang kami bahas tadi terkait audiensi yang tak mendapatkan hasil. Jelas kami belum puas. Karena yang kami inginkan dalam audiensi tadi sebenarnya adalah kepastian dalam pelaksaan KKN, sehingga mahasiswa yang sudah tak sabar untuk pendaftaran KKN di tahun ini tidak lama lagi menunggu. Kami akan melakukan konsolidasi lagi di hari Minggu sore. Dan dalam waktu beberapa hari menuju konsolidasi kami akan coba buat kuesioner online terkait KKN untuk seluruh mahasiswa Unmul. Dan harapannya ini bisa jadi data untuk kami bawa di audiensi berikutnya,” pungkasnya.

Pada Minggu malam (26/2), melalui akun media sosial, Jaringan Advokasi Mulawarman bekerja sama dengan BEM KM Unmul menyebarluaskan survei online KKN untuk mahasiswa. Dalam kuesioner itu mahasiswa diminta untuk menuangkan keluh kesahnya dengan menjawab sejumlah pertanyaan. Mulai dari masalah KKN Berbayar, kejelasan informasi, kuota, pilihan jenis KKN, KKN Penyetaraan, hingga saran untuk Jaringan Advokasi Mulawarman dan LP2M Unmul. (aml/wal)



Kolom Komentar

Share this article