Berita Kampus

Mahkamah Konstitusi Bakal Jegal Pasal Kontroversial UU MD3

Gedung Mahkamah Konstitusi. (Sumber foto: internet)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Kendati telah berlaku, nasib UU MD3 akan jauh lebih ditentukan dari hasil sidang uji materi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah disahkan medio Februari lalu, telah masuk tiga perkara pengujian UU MD3 di dapur MK.

Masing-masingnya diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, Partai Solidaritas Indonesia, dan dua mahasiswa Universitas Indoensia Zico LD Simanjuntak dan Josua Satria Collins. Dalam berkas perkara, para pemohon menggugat di antaranya Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5), Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.

Para pemohon menyebut bahwa pasal-pasal dalam UU MD3 tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, perlakuan tidak adil di hadapan hukum bagi masyarakat, dan pelanggaran hak asasi manusia.

“Kalau MK konsisten dengan keputusan terdahulunya (tahun 2015), saya optimis gugatan terhadap perubahan UU MD3 itu dikabulkan, terutama terhadap Pasal 245,” kata Herdiansyah Hamzah, pakar hukum dari Fakultas Hukum, Unmul.

Pasal 245 ayat (1) memuat aturan bahwa setiap anggota DPR memiliki hak imunitas. Anggota DPR yang diperiksa karena dugaan tindak pidana baru boleh dilakukan pemeriksaan jika telah mendapat izin dari presiden dan Majelis Kehormatan Dewan (MK). Pasal ini disinyalir mengancam kepastian hukum yang adil.

Pada 2015, MK telah memutuskan bahwa pemeriksaan anggota DPR hanya perlu izin dari presiden. Izin dari MKD pada waktu itu diputuskan untuk dicopot. Salah satu alasannya, menurut hakim MK saat itu Wahiduddin Adams, karena pemberian izin dari MKD sarat akan kepentingan. Mengingat isi dari MKD adalah anggota dewan itu sendiri.

“Dasar putusan MK ketika itu adalah bahwa perlakuan setiap warga negara di hadapan hukum harus sama (equality before the law) dan tidak boleh dibeda-bedakan (non-diskriminasi),” kata Hamzah.

Salah Kaprah Imunitas

Di transit Passo, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, pada 25 Maret atau tepat 10 hari setelah UU MD3 berlaku terjadi kecelakaan maut yang melibatkan anggota DPRD Maluku Tengah, Jimmy Sitanala.

Mobil yang ia tumpangi bersama Stella Matitaputty, pegawai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Maluku, menabrak seorang pengendara motor. Dalam kecelakaan itu pengendara motor tewas di tempat setelah terseret 25 meter. Belakangan menurut keterangan saksi, Jimmy adalah orang yang berada di balik kemudi.

Namun demikian, Jimmy masih belum tersentuh. Polisi menahan untuk meminta keterangannya karena menganggap Jimmy dilindungi oleh hak imunitas yang terkandung dalam Pasal 245 ayat (1).

"Saat ini kami belum memeriksa, Jimmy G Sitanala cuma wajib lapor. Kami hanya mengikuti aturan yang baru, yaitu Undang-Undang MD3. Akan tetapi kami akan merampungkan berkas dan pengumpulan bukti-bukti dan memeriksa dua saksi. Setelah bukti-bukti mengarah kepada Jimmy kami akan menatapkan sebagai tersangka dan akan menyurati MKD untuk meminta izin pemeriksaan terhadap Jimmy," kata Kasat Lantas Polres Ambon dan Pulau-pulau Lease, AKP Bambang Surya Wiharga dikutip dari detik.com.

Menanggapi kasus ini, Herdiansyah menyebut bahwa langkah yang ditempuh Polres Ambon “menyesatkan bagi publik dan perlu diluruskan”. Ia mengatakan ketentuan Pasal 245 mengenai pemeriksaan seizin presiden dan pertimbangan MKD hanya berlaku bagi anggota DPR dan bukan DPRD.

“Ketentuan mengenai DPRD, diatur secara eksplisit dalam rezim UU Pemerintahan Daerah,” ungkapnya.

Semestinya sidang lanjutan uji materi UU MD3 diadakan pada Selasa, 3 April 2018 kemarin. Namun DPR maupun pemerintah meminta kepada MK untuk mengatur jadwal ulang menjadi Rabu, 11 April 2018.

“Kami juga memohon untuk penundaan sidang karena kami masih memerlukan waktu untuk melakukan koordinasi dan penyusunan keterangan,” kata Ninik Hariwanti, Direkur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM mewakili pemerintah seperti dilaporkan Antara.

Selagi MK menggodok UU MD3, pasal-pasal kontroversial di dalamnya masih akan terus berlaku. Dalam hukum acara MK, ada empat tahap persidangan yakni pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan, rapat permusyawaratan hakim, dan pembacaan putusan.

“Biasanya sidang paling lama itu di tahap pemeriksaan persidangan, karena harus memeriksa alat bukti dan mendengarkan keterangan pemerintah, keterangan DPR, keterangan ahli, hingga keterangan pihak terkait,” ujar Hamzah. (wal/els)



Kolom Komentar

Share this article