Berita Kampus

Kecemasan Mahasiswi Rantau Saat Sulteng Diguncang

Tenda pengungsian korban gempa Palu. (sumber foto: istimewa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Indonesia kembali berduka.Gempa dan tsunami yang mengguncang Sulawesi Tengah pada 27 September 2018 lalu masih meninggalkan luka mendalam. Bencana ini turut mengundang empati dari berbagai pihak. Tak hanya itu, sanak keluarga tak luput daei rasa khawatir. Bagaimana tidak, pasalnya dua hingga tiga hari pasca bencana jaringan komunikasi tidak stabil hingga sempat terputus.

Kekhawatiran juga dirasak Ayu Ulfiani. Mahasiswi Psikologi 2018 Unmul asal Palu ini mendapat kabar duka tersebut dari saudara sepupunya yang berada di Makassar.

Ayu yang pada saat itu sedang memindahkan barang-barang ke indekos barunya, seketika kaget dan pikirannya buyar. Panik bertambah ketika Ayu berusaha menghubungi orang tuanya, namun telepon saat itu sedang berada di luar jangkauan. Kegelisahan semakin menjadi lantaran pesan Whatsapp tak kunjung mendapat centang dua.

Hingga akhirnya kabar baru Ayu terima pada Sabtu malam. Dalam percakapan singkat, mama Ayu yang menggunakan nomor telepon orang lain memberi kabar bahwa keluarga mereka baik-baik saja. “Mama ndakpapa, ini hapenya lowbat. Yang penting mama ndakpapa ya nak. Kamu juga baik-baik ya," cerita Ayu, menirukan perkataan sang ibu.

Berbeda sehari dengan Ayu, Nadya Derta Kinanti yang juga mahasiswa Psikologi asal Palu baru menerima kabar dari keluarganya 3 hari setelah bencana. Pada hari kejadian, Nadya sedang mengikuti kegiatan perkemahan yang diselenggarakan oleh salah satu UKM kampus sehingga belum mengetahui kabar bencana tersebut.

Hari Sabtu seusai kemah, Nadya pulang ke rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Unmul. Saat itulah ia mendapat informasi dari kakaknya yang juga merantau ke Kalimantan, tepatnya tinggal di Kecamatan Sangkulirang. Ia mengatakan bahwa rumah mereka hancur dan roboh akibat gempa. Kecemasan Nadya semakin menjadi, langsung menghubungi orang tua. Tak jauh berbeda dengan Ayu, panggilan tak dapat dilakukan.

Tidak putus asa, Nadya terus mencoba menghubungi. Setiap satu jam sekali ia melakukan panggilan. Pikirannya kalut, bahkan hingga semalaman ia tidak tidur. Kelegaan baru menhampiri ketika panggilan Ayu terhubung dan masuk pada Minggu malam. 

Dalam beberapa menit dalam percakapan, Ayu mendapat kabar bahwa keluarga baik-baik saja, meski beberapa keluarga besar ada yang meninggal.

“Saya nyoba terus, tapi tetap enggak bisa tidur. Setiap satu jam saya coba nelepon. Dan itu–panggilan tehubung-pun cuma beberapa menit saja, soalnya langsung mati karena jaringan belum stabil. Setelah itu, dua hari lagi baru bisa dihubungi,” terang Nadya.

Tidak seperti keluarga Ayu yang langsung dilarikan ke pengungsian, keluarga Nadya bersama tetangga-tetangganya harus membangun tenda pengungsian sendiri di depan rumah. Sebab relawan dan donasi belum datang saat itu.

Syukurnya terdapat kebun ubi di lingkungan sekitar yang bisa diambil untuk menjadi bahan makanan, sehingga memenuhi kebutuhan makanan hingga donasi sampai ke pemukiman mereka.

Letak rumah Ayu di Palu Timur dan Nadya di Palu Barat, kedua wilayah ini sama-sama tidak terkena tsunami, tetapi gempa berhasil meruntuhkan sebagian besar gedung-gedung yang berada di atasnya, termasuk rumah Ayu dan Nadya.

Diceritakan Ayu, rumahnya hancur berantakan. Beruntung, bagian ruang tamu masih dapat digunakan. Melalui aplikasi Whatsapp, adik Ayu menceritakan suasana gempa. Plafon rumah dan barang-barang berjatuhan, meja yang semula tertata di ruang tamu pindah ke depan WC. Sang adik mengaku merasakan pusing akibat goncangan gempa.

Lega ketika kakak kedua Ayu yang saat itu mendapat tugas menjaga stand dapat terhindar tsunami. “Kakak saya sebenarnya jaga stand di Palu yang di pesisir pantai itu, tapi dia malah pergi dari situ dan kabur dari tugas. Ada hikmahnya juga dia kabur. Belum ajalnya karena rata-rata yang di pinggir pantai itu meninggal,” ceritanya.

Perasaan lega yang sama juga dirasakan Nadya ketika kakak perempuan, adik bungsu dan satu keponakannya yang sempat terkurung dalam reruntuhan rumah berhasil selamat. Mereka dapat dievakuasi saat sang kakak ipar yang baru usai sholat magrib di masjid datang dan langsung mendobrak pintu.

“Kakak saya sama adik, dan keponakan saya masih di dalam rumah terkurung dan enggak bisa keluar pas gempa. Suami dan anak pertamanya pergi salat magrib. Suaminya datang ngedobrak baru bisa keluar. Muka keponakan saya sampai di penuhi abu, tapi dia masih bisa senyum gitu,” cerita mahasiswa semester 1 itu dengan mata berkaca-kaca.

Kesedihan Nadya bertambah ketika tahu mental adiknya sedikit terganggu akibat gempa. Saat sang adik mendengar orang yang lari ia turut lari sekalipun ketika bermain. Meski begitu, Nadya tetap bersyukur keluarganya hanya mendapat luka lecet dan tidak ada fisik yang terluka parah.

Meskipun rumahnya hanya tersisa tiang penyangga, Nadya tak terlalu kecewa sebab satu-satunya motor milik keluarganya masih bisa selamat.

Perataan dalam penyaluran donasi sangat diinginkan Nadya, “Kedengarannya kemarin donasi udah banyak, harapannya pemerintah tidak menyalahgunakan itu. Maksudnya dapat digunakan sebaik mungkin dengan melihat yg benar-benar butuh,” harapnya.

Pada 8 Oktober lalu, pihak rektorat Unmul mengumpulkan sekitar 20 mahasiswa yang berasal dari Sulteng untuk diberikan donasi sebagai bentuk belasungkawa atas kejadian yang menimpa keluarga mereka. (yun/adl)



Kolom Komentar

Share this article