Kecaman Remisi untuk Susrama, Pembunuh Wartawan Bali
Aksi yang dilakukan para jurnalis untuk menolak remisi susrama. (Sumber: terbit.co)
- 06 Feb 2019
- Komentar
- 2083 Kali
SKETSA – Remisi yang diberikan untuk I Nyoman Susrama mengundang kecaman dari berbagai kalangan, terutama dari para jurnalis. Mereka mendesak pemerintah agar segera mencabut keputusan remisi yang telah diteken oleh Presiden Joko Widodo tertanggal 7 Desember 2018 lalu. Adanya pemberian remisi ini menggugurkan hukuman awal yang sempat dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Denpasar kepada Susrama, yakni vonis penjara seumur hidup. Susrama merupakan orang yang berada di balik kasus pembunuhan terhadap AA Gede Bagus Narendra Prabangsa, jurnalis Radar Bali pada Februari 2009 silam.
Nama Susrama menjadi satu di antara ratusan narapidana lainnya yang menerima remisi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 29 tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Penjara Sementara. Memasuki masa penahanan 10 tahun, Susrama dinyatakan menerima pengurangan hukuman menjadi 20 tahun karena dinilai berkelakuan baik selama menjalani masa hukuman dan juga usianya yang sudah tidak lagi muda.
“Umurnya sekarang sudah hampir 60 tahun,” kata Yasonna H Laoly selaku Menteri Hukum dan HAM, dikutip dari laman tirto.id.
Diketahui dua bulan sebelum tragedi pembunuhan terjadi, Radar Bali merilis berita yang ditulis oleh Prabangsa. Berita tersebut berisi adanya dugaan korupsi yang dilakukan oleh Susrama terkait proyek Dinas Pendidikan di Kabupaten Bangli. Ini yang menjadi akar kekesalan Susrama, hingga akhirnya ia menjadi dalang di balik strategi pembunuhan tersebut. Meskipun telah dijatuhi hukuman pidana, hingga kini Susrama tidak pernah mengakui bahwa ia terlibat dalam pembunuhan tersebut.
Herdiansyah Hamzah selaku dosen Fakultas Hukum Unmul menilai bahwa adanya remisi ini perlu mempertimbangkan berbagai aspek lainnya. Seperti yang secara eksplisit tertulis dalam Pasal 2 ayat (3) Permenkumham Nomor 3 tahun 2018, di mana perlu memperhatikan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat.
“Logikanya, memberikan remisi kepada pembunuh jurnalis, yang bahkan tidak mau mengakui perbuatannya itu jelas mengusik rasa keadilan publik,” ujarnya.
"Itu harusnya jadi pertimbangan menteri untuk tidak memberikan remisi," tambahnya.
Menarik simpati, sejumlah aksi pun digelar sebagai bentuk penolakan atas remisi untuk Sasrama. Dilansir dari laman tempo.co, Jumat (25/1) lalu, sejumlah massa aksi yang merupakan gabungan dari AJI Jakarta, LBH Pers, YLBHI dan wartawan lainnya melakukan protes di depan Istana Merdeka. Mereka menuntut pemerintah agar segera mecabut Keppres tersebut dengan melakukan orasi dan membawa poster sebagai bentuk protes.
Tidak hanya di Jakarta, di beberapa titik kota lainnya seperti Banda Aceh, Semarang, Bali, Kendari dan Surabaya turut diwarnai aksi protes dari lingkar jurnalis dan kalangan masyarakat. Begitu juga di Samarinda, Kamis (31/1) lalu, dalam Aksi Kamisan Kaltim, isu ini diangkat sebagai topik. Dengan membawa poster bertuliskan “Cabut Remisi Pembunuh Jurnalis!” aksi ini menjadi bentuk protes dari Samarinda terhadap keputusan remisi untuk Susrama.
Rencananya, 9 Februari mendatang AJI Surabaya akan membuka aksi dengan mengajak AJI dari pelbagai kota se-Jawa Timur dan AJI Indonesia. Selain itu, bentuk lain dari penolakan Keppres lainnya datang dari berbagai elemen masyarakat di Surabaya, yang mengirimkan surat terbuka kepada presiden. Hingga kini, Kemenkumham kembali membahas dan mengkaji keputusan remisi tersebut.
Menurut data AJI, selain Prabangsa, ada 8 kasus kematian wartawan lainnya. Namun sayang hingga kini belum diusut melalui ranah hukum, di antaranya ada Fuad M Syarifuddin (Udin) wartawan harian Bernas Yogya (1996), Herliyanto, wartawan lepas harian Radar Surabaya (2006), Ardiansyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV (2010), dan kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan, wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya (2010). (adl/wil)