Berita Kampus

Hukuman Kendur, Pelaku Pelecehan Seksual Pantang Mundur

Kendurnya hukuman akan pelecehan seksual di Indonesia membuat para pelaku pelecehan seksual merajalela. (sumber foto: google.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Kasus pelecehan seksual bahkan berakhir dengan pemerkosaan selalu menarik untuk dikupas, meski kenyataannya tak sepenuhnya berakhir dengan tuntas. Mengusut namun tak selesai hingga ujung-ujungnya terbelit dan kusut. Beberapa kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap kaum hawa diangkat hingga viral, namun kemudian lupa ketegasan dalam penyelesaian, karena ini menyangkut harga diri dan moral.

Berdasarkan catatan tahunan Komisi Nasional Perempuan, pada 2018 ini kasus pemerkosaan menempati posisi kedua kasus terbanyak dengan total 619 kasus. Ini membuktikan bahwa kasus pelecehan dan tindakan asusila semakin marak terjadi di Indonesia.

"Sebenarnya angka pelecehan seksual mungkin lebih besar lagi. Tapi sulit teridentifikasi," ungkap La Syarifudin, salah satu dosen di Fakultas Hukum saat ditemui awak Sketsa akhir November lalu.

Dosen yang akrab disapa Syarif itu juga mengatakan bahwa hukum jenis pelecehan dibagi dua, cabul dan pidana kesusilaan. Namun yang tercatat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya tindakan cabul. Sebab kesusilaan berkaitan dengan adat istiadat yang berlaku bagi orang-orang yang sepaham. Syarif juga menjelaskan bahwa pelaku pelecehan dapat dilaporkan hanya oleh orang yang bersangkutan atau keluarganya. Jika tidak, maka kasus tersebut tidak dapat diproses.

"Tapi kalau dapat di proses, hukuman yang dapat dikenakan kepada pelaku paling tiga bulan atau sembilan bulan. Itu hukuman maksimal," terangnya. Hukuman bisa bertambah jika korban masih di bawah umur, karena masuk ke dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Di mana hukuman yang dapat dikenakan adalah 7 tahun penjara.

Ia mengakui bahwa hukum di Indonesia untuk pelaku pelecehan memang masih belum maksimal. Bahkan terlalu ringan untuk disandingkan dengan trauma yang dialami korban atas tindakan keji yang terjadi. Di samping itu, menurutnya pemerintah juga masih belum memperhatikan para korban.

Ketika disinggung mengenai kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh rekan satu organisasi dan menyeret status mahasiswa Unmul di Lingkar Studi Kerakyatan (LSK), Syarif mempertanyakan bentuk pelecehan yang terjadi. Menurutnya akan sangat baik jika tahu kronologis atau bentuk pelecehan yang terjadi.

(Baca, https://sketsaunmul.co/berita-kampus/penyintas-lain-dan-pengakuan-pelaku-pelecehan-seksual/baca)

Sebagai fakultas yang lekat dengan mempelajari hukum beserta aturannya, Syarif mengaku FH sendiri belum pernah membantu dalam bentuk penyelesaian kasus pelecehan. "Kalau untuk penanganan kasus seperti itu, FH belum pernah membantu dalam penyelesaiannya," terangnya.

Namun ia mempertegas bahwa akan lebih baik jika korban dapat melaporkan tindakan pelecehan seksual yang dialami. Ia berharap, Unmul dapat memegang peran penting dalam menghadapi isu ini.

"Ke depannya Unmul bisa menyediakan wadah tersendiri untuk menanggulangi permasalahan terkait pelecehan seksual, agar lebih maksimal," tandasnya. (ycp/adl/fqh)




Kolom Komentar

Share this article