Berita Kampus

Hukuman Kebiri Kimia: Efektifkah Bagi Kasus Pelecehan Seksual?

Sebagai salah satu langkah untuk menangani kasus semacam ini, pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia,

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : Tempo

SKETSA – Seperti yang kita ketahui, kasus pelecehan seksual merupakan sebuah kejahatan serius yang melanggar hak asasi, menimbulkan trauma kepada para korban dan keluarga serta mengganggu ketenteraman di lingkungan masyarakat.

Sebagai salah satu langkah untuk menangani kasus semacam ini, pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

Dikutip dari klikdokter.com, kebiri kimiawi sendiri ialah bentuk kebiri dengan memasukkan zat kimia anti-androgen ke tubuh seseorang agar produksi hormon testosteron di tubuh mereka berkurang. Testosteron sendiri adalah hormon yang memengaruhi libido atau nafsu.

Proses ini dilakukan dengan cara memasukkan atau menyuntikkan zat kimia anti-androgen bersamaan dengan proses rehabilitasi. Cara kerjanya yakni dengan menurunkan kadar level androgen (hormon testosteron) di dalam darah. Pemberian zat anti-androgen ini tidak dilakukan hanya satu kali, melainkan harus secara rutin.

Tentunya, peraturan ini memiliki pro dan kontranya tersendiri. Komisi Nasional (Komnas) HAM dikutip dari kompas.com berpendapat bahwa hukuman ini tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia. Terutama dalam hal tidak melakukan hukuman yang kejam dan tidak manusiawi.

Adapun Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, menyebut jika hal ini merupakan cara instan yang justru menjauhkan pemerintah dari tanggung jawab untuk mereformasi kompleksitas instrumen hukum dan kebijakan terkait perlindungan anak.

Dilansir dari asumsi.co, Amnesty International Indonesia menyebut praktik ini melanggar peraturan internasional "Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat" yang diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan sudah diratifikasi oleh Indonesia di UU Nomor 5/1998.

Dosen psikologi klinis Unmul, Ayunda Ramadhani turut menyampaikan pendapatnya terkait implementasi PP Nomor 70 Tahun 2020 ini. Menurutnya, penetapan ini akan menimbulkan pro dan kontra tergantung dari tinjauan mana yang ingin diambil. Ia berkata, jika ditinjau dari sisi kemanusiaan maka jelas melanggar sebab sifatnya mandat, bukan sukarela.

"Tapi, yang dikedepankan sebenarnya adalah bagaimana ini dilakukan sebagai upaya pencegahan tindak kejahatan seksual. Efektif atau tidak kita tidak (akan) pernah tahu karena belum terlaksana. Menimbang banyaknya negara yang menerapkan hukuman ini, akan efektif sepanjang tujuannya adalah untuk mencegah kejahatan seksual yang lebih ekstrim," jelas Ayunda kepada Sketsa, Rabu (13/1).

Adapun Ayunda mengatakan, sanksi-sanksi yang dikeluarkan pemerintah sebenarnya sudah cukup baik. “Jadi kalau ditanya efektif atau tidak, prediksinya ini akan efektif sepanjang dilakukan secara konsisten dan tidak tumpang pilih,” ungkapnya.

Ia mengatakan, dengan adanya PP ini seharusnya dapat menekan para pelaku yang berpotensi melakukan tindak kekerasan seksual juga mengurungkan niatnya secara psikologis. Ayunda menyebut, kebijakan ini juga memerlukan banyak pertimbangan sebelum proses eksekusi dilakukan.

Ada penilaian dari medis mulai dari psikiatri dan psikolog. Juga untuk menerapkan itu, tidak semudah hakim memutuskan. Masih memerlukan pertimbangkan hak-hak kemanusiaan pelaku untuk mendapat pemeriksaan.

Berlakunya kebijakan tersebut tentu tidak dapat menyenangkan semua pihak. Tetapi jika melihat dari persepsi kepentingan perlindungan anak, maka kebiri kimia merupakan salah satu alternatif penambahan hukuman yang tepat. Asalkan diterapkan secara konsisten dengan tidak mengabaikan hak-hak si pelaku maupun korban.

Meski cara ini menjadi alternatif yang tampak mudah dan instan namun, sebenarnya melalui serangkaian proses panjang untuk menentukan seseorang tersebut dihukum kebiri atau tidak. Mencegah anak menjadi korban kejahatan seksual itu butuh kompleksitas dan sinergitas berbagai pihak.

Selain membicarakan teknis, anggaran yang diperlukan untuk melakukan kebiri kimia juga memakan biaya yang cukup besar. Sayangnya, anggaran perlindungan korban pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terus turun hingga Rp54,5 miliar pada 2020.

"Mengenai anggaran perlindungan, keadaan di lapangan memang terasa ada ketimpangan. Tak jarang, biaya perlindungan kepada korban tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Namun, kita harus tetap mengapresisasi tindakan yang dilakukan pemerintah."

Ayunda berharap, kebijakan ini dapat membawa perubahan positif dan terlaksana secara konsisten sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam menanggulangi kasus kekerasan seksual.

"Apabila ada hal yang dinilai kurang efektif, maka perlu dilakukan evaluasi lagi. Namun, tetap optimis bahwa PP Nomor 70 Tahun 2020 ini berjalan efektif dan dapat menekan angka kejahatan seksual pada anak," tutupnya. (len/piu/dyn/rvn/jhr/rst)



Kolom Komentar

Share this article