Dua Mahasiswa Jadi Tersangka, Tim Advokasi: Kami Siap Ajukan Praperadilan
Hasil konferensi pers yang digelar oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi.
- 07 Nov 2020
- Komentar
- 1336 Kali
Sumber Gambar : Kaltim Today
SKETSA – Pada Jumat (6/11), dua mahasiswa berinisial FR dan WJ yang tergabung dalam aksi tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja (5/11) ditetapkan sebagai tersangka oleh Polresta Samarinda. Atas keterangan yang diberikan kepolisian, FR diduga membawa badik saat aksi berlangsung dan WJ diduga melakukan penganiayaan kepada aparat dengan melempari batu. Di hari yang sama, Tim Advokasi untuk Demokrasi menggelar konferensi pers pada pukul 19.30 WITA. Dipandu oleh Pradarma Rupang, tim advokasi menghadirkan Fathul Huda dan Bernard Marbun dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda serta Indra dari LBH Persatuan.
Perkembangan atas penangkapan massa aksi baik dari Kamis hingga Jumat saat penetapan tersangka disampaikan oleh Fathul. LBH sendiri turut mendampingi serta mengumpulkan keterangan dari beberapa peserta aksi. Dalam hal ini, mereka menyoroti tindakan represif serta pembungkaman yang terjadi. Diketahui, beberapa massa aksi mendapati luka-luka karena diinjak, dipukul, ditendang, diseret, hingga pencukuran rambut yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan penertiban.
Baginya, tindakan ini tidak manusiawi sebab massa aksi datang untuk menyatakan pendapat dan menegakkan keadilan demokrasi. Sedangkan, langkah yang diambil pihak aparat dinilai telah melanggar hak kebebasan berpendapat masyarakat. “Kami meminta kepada aparat kepolisian yang telah melakukan kebrutalan kemarin sore untuk segera ditindaklanjuti,” ujarnya.
Selaku penasihat hukum bagi massa aksi yang ditahan, Bernard menyebut bahwa ia mengalami kesulitan untuk mendampingi mereka ketika penangkapan terjadi. Aparat kepolisian menolaknya di Polresta Samarinda dengan alasan bahwa massa aksi sedang melalui tahap interogasi. Padahal, sebagai pengacara ia berhak untuk melakukan pendampingan.
Ia juga menjelaskan kronologis yang menimpa FR sebagai tersangka kepemilikan senjata tajam (sajam) berupa badik. Berdasarkan keterangannya, saat kericuhan terjadi FR sedang membantu temannya. Setelah itu, ia terjatuh dan saat itu juga ditangkap. Badik itu sendiri berjarak 8 meter dari posisi FR, dan kepemilikan sajam tersebut dituduhkan kepadanya.
Bernard menyebutkan jika FR tetap bersikeras dan menolak tuduhan kepemilikan sajam bahkan tidak mengetahui dari mana asal badik tersebut. Ia juga mengaku tidak membawa senjata apapun saat mengikuti aksi. “Tiba-tiba ada teriakan ‘Ada sajamnya! Ada badiknya!’ dan dituduhkan ke FR. Kita terus berupaya dan tegaskan tuduhan itu tidak benar,” tegas Bernard.
Dari pihak LBH Persatuan, Indra mengaku bahwa ia datang dan menyusul ke Polresta sekitar pukul 20.00 Wita atas permintaan beberapa mahasiswa. Meski lebih mudah menemui massa aksi yang diamankan, mereka memastikan kelengkapan berkas dengan proses penjagaan yang ketat hingga akhirnya diizinkan menemui mahasiswa. Adapun bagi Indra sendiri, penetapan ini menurutnya berlebihan dan diduga melanggar Peraturan Kapolri (Perkap). Sebab tidak boleh ada tindak kekerasan pada massa aksi, baik dari polisi atau intel.
“Penanganan perlu dilakukan bersama agar dapat mengawal tindakan pihak kepolisian. Bagaimana tindakan kepolisian yang nyata-nyata melakukan tindakan represif, ini adalah pelanggaran dengan kode etik,” ucap Indra.
Pada pengawalan ini, LBH Persatuan mendampingi WJ yang diduga melakukan penganiayaan menurut berita acara pemeriksaan (BAP). Menurut hasil pertemuan pihaknya dengan yang bersangkutan, bentuk penganiayaan yang terjadi tidak secara langsung menggunakan tangan. Tetapi menggunakan batu dengan diameter kurang lebih 3 cm ke arah water cannon. Karena itu, Indra menegaskan perlu adanya pemeriksaan lebih lanjut apakah batu tersebut memang mengenai seseorang, dalam hal ini aparat kepolisian atau meleset. Terutama karena hal tersebut dapat diperhitungkan sebagai bentuk spontanitas saat massa aksi mendapatkan serangan gas air mata dan banyak orang lain yang melakukan pelemparan serupa.
“Bagaimana kemudian hanya satu orang yang ditetapkan sebagai tersangka? WJ itu disangka dia satu-satunya pelaku yang bertanggung jawab atas timbulnya korban entah di aparat atau massa aksi,” jelasnya.
Yohanes Richardo, selaku Humas Aliansi Mahasiswa Kaltim Menggugat (Mahakam) turut menyampaikan suaranya. Pengangkapan serta penetapan massa aksi ini baginya diputuskan tanpa dasar. Apalagi dengan tuduhan kepemilikan sajam dan penganiayaan aparat, jelas Richardo mengutuk keras tindak kekerasan dan pembungkaman ini.
Ia menyampaikan jika polisi justru mencari celah agar dapat menetapkan sebagai pelaku anarki dengan membuat framing mahasiswa anarkis yang membawa sajam, melempar batu serta membawa bom molotov. “Padahal itu bukan kelompok kami. Dan terlihat pada saat aksi terpecah, aparat melakukan tindak represif. Padahal kita menuntut dengan tujuan yang jelas. Walaupun pas kita mau masuk dipukul mundur, kami ingin ada sidang rakyat membahas klaster-klaster dalam Omnibus Law yang bermasalah.”
“Aparatur harusnya tidak melakukan tindakan pembungkaman. Kami akan melakukan aksi solidaritas jika teman kami masih ditahan. Kami mengatakan ini Kapolres kita sangat kejam. Ini adalah dukacita bagi demokrasi kita saat ini,” lanjutnya.
Aliansi Mahakam juga membuka donasi untuk massa aksi yang terluka dan membutuhkan pengobatan. Langkah ini diambil untuk menindaklanjuti korban-korban selama aksi berlangsung.
Dalam waktu dekat, Tim Advokasi untuk Demokrasi berencana melakukan gelar perkara serta minta permohonan praperadilan terhadap penetapan FR dan WJ sebagai tersangka. “Kami akan mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Samarinda. Telah kami siapkan untuk mempersoalkan sah tidaknya penetapan tersangka, penangkapan dan penanganan terhadap FR dan WJ. Kami akan menguji proses penetapan tersangka,” terang Indra.
Closing statement kemudian diberikan oleh Fathul dengan memberikan semangat untuk terus mengawal penolakan UU Cipta Kerja. “Jangan sampai semangat turun karena teman kita ditangkap, karena ini adalah oligarki yang kita lawan. Kejadian chaos kemarin disebabkan oleh ulah barbar DPR dan pemerintah. Jangan takut karena kami siap mendampingi. Terakhir, untuk Polresta silakan tindak anak buah anda yang melakukan tindak kezaliman terhadap teman-teman mahasiswa yang sedang memperjuangkan masa depan,” tutupnya. (len/rst)