Berita Kampus

Disabilitas di Unmul, Belum Berjalan Sampai ke Batas, Berlayar Sampai ke Pulau

Salah satu fasilitas untuk disabilitas di FH Unmul. (Sumber: Istimewa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Dokter yang memeriksa tes kesehatan mengatakan Gio sebaiknya pindah jurusan. Jurusan Teknik Elektro dianggap si dokter tidak cocok untuk seorang yang terlahir seperti Gio. Belum saja masuk kuliah, sudah ada yang ingin membuatnya patah.

Ade Giovani terlahir dengan kedua tangan di mana tangan kirinya lebih pendek dari tangan kanannya. Di tangan kanan ia punya empat jari, sedangkan di kiri ada tiga. Ucapan dokter itu sekadar angin lalu. Gio kenyataannya lebih bertekad untuk membuktikan bahwa ia bisa tetap kuliah di jurusan yang ia mau.

Hingga hari ini, hampir dua tahun berkuliah, tidak ada masalah berarti yang dia hadapi. Perkara praktikum bisa diatasi dengan lancar. Kendati ada kesulitan ketika harus menulis laporan tulis tangan berlembar-lembar, namun itu bukan soal besar. Entah nanti bagaimana dengan kerja lapangan khas anak Teknik, ia belum tahu kesulitannya bakal seperti apa.

WHO mendefinisikan disabilitas sebagai keterbatasan atau ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas dengan cara atau dalam rentang yang dianggap normal oleh manusia, umumnya karena penurunan kemampuan. Para penyandang disabilitas ini memiliki hak yang sama dengan orang lain pada umumnya. Begitu pun untuk urusan memperoleh pendidikan di berbagai jenis dan jenjang. Negara melalui konstitusi telah menjamin dan mengakui hak penyandang disabilitas dalam memperoleh layanan pendidikan. UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah sederet peraturan pemerintah maupun peraturan menteri yang menjamin disabilitas.

Abdul Kadir, kepala subbagian registrasi dan statistik mengatakan, Unmul terbuka untuk menerima mahasiswa disabilitas tetapi jarang sekali ada pelajar disabilitas memilih Unmul sebagai PTN tujuan. Lebih sering Unmul hanya melayani pendaftaran ujian masuk semisal dalam ujian SBMPTN.

Kadir menguraikan sejak 2016 pelajar disabilitas sudah ada yang mendaftar mengikuti ujian SBMPTN di Unmul. Namun pada tahun itu tidak ada mahasiswa yang mendaftar. Pada SBMPTN 2017 ada tujuh pelajar mengikuti ujian di Unmul, dikatakan Kadir, dua di antaranya berhasil masuk di Unmul. Tahun ini ia ditunjuk lagi jadi Panitia Lokal (Panlok) SBMPTN 2018. Dan cuma ada satu pelajar difabel yang mendaftar.

"Kalau untuk daftar (PTN) ke mana, kita tidak tahu,” ujar Kadir.

Di server SBMPTN yang ia perlihatkan, memang tak tampak pilihan universitas para peserta. Yang tertera bagi pelajar disabilitas hanya pilihan kebutuhan khusus seperti tuna daksa, tuna netra, atau tuna rungu. Tugas Unmul sebagai panlok Samarinda cukup memastikan kebutuhan khusus difabel itu terpenuhi.

Biasanya, kata Kadir, ia kembali akan menghubungi kontak si pelajar guna memastikan ulang apa benar yang bersangkutan berkebutuhan khusus, lantaran tak jarang calon mahasiswa sekadar keliru sewaktu mengisi data. Apabila sudah terkonfirmasi, dari Unmul selanjutnya akan mencari pendamping sekaligus pengawas dari Sekolah Luar Biasa terdekat untuk menemani peserta selama proses ujian SBMPTN. Sambil memastikan ruangan ujian ada di lantai pertama gedung.

Kerapian sistem SBMPTN dalam mendata dan memperlakukan penyandang disabilitas, tidak menjamin hal tersebut terejawantah dalam lingkungan kampus yang sebenarnya. Poin penting itu malah cenderung diabaikan.

Paling tidak Unmul ketahuan sama sekali tidak memiliki data mahasiswanya yang menyandang disabilitas. Gio dan sekian mahasiswa disabilitas lain tidak diketahui dan kebutuhan khusus apa yang mereka perlukan.

Kadir berdalih, khusus mengenai pendataan, itu mudah bagi pihaknya kerjakan. Ia tinggal menambahkan pilihan disabilitas dalam data registrasi mahasiswa. Ia balik bertanya, apakah setelah dibuat kolom demikian mahasiswa sudi mengisi dengan benar.

Kadir juga berpendapat mahasiswa yang masuk di Unmul dalam keadaan normal, lantas dalam perjalanan masa studi akibat satu dan lain hal, mahasiswa itu mengalami kecacatan fisik, bagi Kadir itu tak cukup cocok disebut “mahasiswa disabilitas”.

“Dia bukan disabilitas karena dalam perjalanan kuliah dia mengalami. Dia normal, artinya kita enggak tahu,” ujarnya.

Hal demikian ini berarti dialami oleh Muhammad Habibi, yang terpaksa kehilangan satu kakinya akibat kecelakaan sepeda motor. Habibi sudah diwisuda pada Desember 2017 lalu.

Sejak dulu Unmul selalu terbuka untuk menerima mahasiswa disabilitas, tapi cara dan fasilitasnya tidak tampak seramah itu juga.

Ketidakramahan itu tercermin dari aksesbilitas untuk disabilitas. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesbilitas mengatur bahwa setiap bangunan dan gedung diharuskan memiliki fasilitas yang memadai bagi penyandang disabilitas dan lansia.

Fasilitas itu meliputi ukuran dasar ruang, lift, ram, toilet, westafel, perabotan, rambu dan marka, perlengkapan dan peralatan kontrol, dan masih ada lagi yang lain. Dari sekian fasilitas tersebut, lebih banyak yang tidak tersentuh oleh bangunan-bangunan di Unmul.

Misalkan saja fasilitas ram, dari 14 fakultas di Unmul hanya Fakutas Hukum yang cukup melek dengan aksesbilitas sedangkan sisanya lebih tak acuh. Padahal hampir semua fakultas memiliki tangga sejak hendak memasuki lantai pertama gedung. Jomplang sekali dengan tersedianya jalur landai yang ramah bagi disabilitas.

Di FISIP dari 16 tangga normal di empat gedung tidak ada yang memiliki ram. Dengan kontur kampus yang menanjak, FISIP sama sekali tidak ramah disabilitas. Kalaupun ada yang bisa disebut jalan landai maka itu terletak di gedung S2 Administrasi dan itu sama sekali tidak memadai bagi disabilitas. Faperta juga sama. Dari 20 jumlah tangga yang diperkirakan petugas jaga keamanan, Ahmad Suryanto, tidak ada satu pun yang menyediakan ram.

FEB dan Farmasi sama saja, tanpa akses disabilitas sama sekali. Sementara FK sebagai kampus yang menggodok calon dokter, tidak pula ditemui fasilitas untuk penyandang disabilitas. Sekadar ada lorong yang memiliki jalur landai tetapi sama sekali tidak memenuhi standar penerapan ram yang harus memiliki marka, pagar, dan memiliki kemiringan 7 derajat. Pun demikian dengan kampus kesehatan lain seperti Kesmas. Dari tiga gedung tidak ada satu pun jalan sondai.

FPIK sama tidak memiliki jalan landai. Sedangkan di Fahutan ada jalan pantai yang tersedia di pintu masuk bagian belakang dekanat, meski belum sesuai dengan standar penerapan. Pintu belakang dekanat itu terhubung dengan dua sisi area parkir untuk mobil dan motor, sekaligus jadi penghubung antara dekanat dengan gedung C sebagai perkuliahan. Jika diperhatikan letak jalur pantai ini juga salah kaprah. Lantaran akses menuju pintu belakang dekanat tetap perlu meloncati jendulan jalan yang tidak nyaman bagi pengguna kursi roda.

Kampus di seberangnya, yaitu FKTI dari dua lantai gedung tidak ada ram untuk difabel. Pergi ke FMIPA juga mirip-mirip. Bangunan kampusnya menjulang hingga empat lantai tetapi tak satupun titik yang menyediakan ram, begitu juga dengan dekanatnya. Namun demikian, ada jalan cukup sondai untuk menuju selasar kampus yang memiliki meja dan kursi. Sementara di sekretariat mahasiswa, jalurnya begitu curam dan lebih berfungsi sebagai jembatan ketimbang diaku-akui sebagai ram. Di Green House FMIPA memiliki jalur landai, tapi seperti juga kebanyakan, belum memenuhi standar penerapan.

FIB dan FT sama tidak konsennya untuk penyediaan fasilitas bagi disabilitas. Tidak ada ram di kedua kampus ini. Di Teknik kirai landai cuma ada di bangunan lab. Tampak didesain untuk memudahkan kegiatan masuk-keluar barang di dalam lab, ketimbang layanan untuk difabel. Sementara di FIB, meski teritorinya tak begitu luas tetap ada tangga-tangga kecil saat hendak menuju kelas, dan di sana tidak ada ram sama sekali.

FKIP sebagai kampus dengan cakupan paling luas tampil berbeda-beda dalam prinsip penyediaan akses bagi difabel. Di kampus Gunung Kelua, ruang kelas FKIP sama sekali tidak memiliki jalan landai. Ini sama dengan kampus Pahlawan, di mana tangga jauh lebih digunakan di koridor kelas. Amat berbeda dengan apa yang tersedia di kampus Banggeris. Kendati belum sesuai standar penerapan, ada 9 titik jalur landai yang bisa digunakan oleh penyandang disabilitas, khususnya bagi pengguna kursi roda. 9 titik landai ini saling terhubung di koridor kelas, untuk bisa sampai di titik satu perlu lebih dulu menyeberangi selokan kecil.

Dari semua fakultas di Unmul, kesadaran terkait aksesbilitas paling kuat agaknya muncul di FH. Untuk tiga gedung yang berdiri, disediakan tiga ram khusus untuk disabilitas. Dua ram di antaranya bahkan sudah sesuai standar penerapan seperti pemberian marka difabel, pagar, dan kemiringan 7 derajat.

Adapun, satu ram yang ada di dekanat FH keluar sedikit dari standar penerapan. Ram di dekanat berada di titik 11 derajat, lebih miring 4 derajat ketimbang standar kemiringan seharusnya. Rika Erawaty, wakil dekan bidang umum dan keuangan, berujar itu dikarenakan tangga masuk dekanat lebih tinggi daripada dua bangunan lainnya. Sehingga dilakukan penyesuaian beberapa derajat untuk kecocokan estetik.

Ram di FH juga belum lama ada, baru sekitar empat pekan terakhir ini. Pada saat rapat peraturan daerah (Raperda), FH yang bekerja sama dengan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kaltim menyusun perda tentang pemenuhan hak disabilitas. Dalam rapat itu sempat ditanya apakah gedung fakultas mereka sudah ramah disabilitas atau belum.

“Kita memperjuangkan akses teman-teman disabilitas, tapi kita juga belum ada akses buat mereka, kata Rika.

Rita menyebut wacana aksesbilitas di FH baru dimulai awal tahun ini. Ide pembuatan ram murni berasal dari kesadaran fakultas, tanpa ada perintah dari rektorat—sebab selama ini memang tidak ada.

Proyek keseluruhan dana menghabiskan Rp115 juta. Tidak cuma untuk membuat ram saja, tapi ada tembok nama FH, penamaan gedung A dan gedung B, serta penamaan gedung dekanat. Kalau untuk jalan landai saja, Rika berkisar tidak sampai menghabiskan Rp20 juta. Rika cuma bisa berkisar karena LPJ dari permak fasilitas ini belum sepenuhnya ia terima.

Sementara ini aksesbilitas di FH yang tersedia cuma ram saja, belum melengkapi akses untuk fasilitas disabilitas lain semisal toilet khusus. Ke depan, kata Rika, mungkin akan dilanjut. Bangunan FH yang hanya tiga lantai belum masuk kriteria sebagai bangunan yang boleh membuat lift. Lift hanya diizinkan untuk gedung empat lantai ke atas.

Walaupun akses ke lantai 2 dan 3 itu tidak ada, paling tidak jika ada tamu disabilitas kita yang turun ke bawah,” ujarnya.

Rika menjelaskan pelayanan untuk mahasiswa difabel nanti bisa dipusatkan ke lantai satu saja. Mulai dari proses perkuliahan hingga pertemuan yang hendak dilakukan dengan dosen. Karena menurut Rika, hak atas pendidikan itu tidak terbatas pada orang-orang tertentu saja, kaum difabel juga berhak. Biarpun saat ini belum ada mahasiswa disabilitas di kampus Hukum, tapi yang namanya menjaga komitmen untuk pendidikan itu adalah sebuah keharusan.

“Ketika gedung itu tidak ramah disabilitas bagaimana mereka mau kuliah?” ujar Rika.

Ruang Baca Difabel

Pada awal 2016 di salah satu sudut lantai satu Perpustakaan Unmul, diresmikan sebuah ruangan yang diberi nama Ruang Baca Difabel. Sesuai namanya, ruang 3x4 meter itu diperuntukkan untuk mahasiswa difabel yang ingin berkunjung ke perpustakaan.

Supadi, Kepala Perpustakaan Unmul menjelaskan ruang khusus difabel dibentuk sejak tahun 2015. Menyusul setelah dikeluarkannya Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan nomor 46 tahun 2014 untuk melakukan pendidikan, pelajaran, dan pelayanan khusus—belakangan Permendikbud ini dicabut dan diganti oleh Permenristekdikti No. 46 Tahun 2017.

Supadi berkata ada atau tidaknya peraturan tersebut, fasilitas khusus difabel akan tetap dibangun karena ia melihat ini sebagai sebuah kebutuhan. Sejak diresmikan, Ruang Baca Difabel telah mengalami beberapa perubahan. Kini ruang khusus tersebut telah dilengkapi sofa, AC, dan komputer yang terhubung dengan internet. Penambahan gorden berwarna krem menambah kesan nyaman dari ruangan ini.

Supadi menjelaskan bahwa buku-buku yang tersedia di ruang khusus ini masih tergolong umum. Semisal ada buku yang diinginkan tidak terdapat pada rak, pengunjung disabilitas dapat memberitahu pustakawan untuk membantu mencarikan di tempat lain.

Kami juga ingin mendata terlebih dahulu ada berapa mahasiswa yang menyandang disabilitas. Apakah sudah perlu adanya koleksi-koleksi seperti braille, untuk sekarang belum ada. Harganya mahal itu, kalau enggak ada mahasiswanya tapi kita sediakan jadinya mubazir,’’ terang Supadi.

Wacana adanya buku khusus berisi aksara braille telah lama diniatkan bahkan sejak 2016. Saat itu Unis Sagena, direktur Perpustakaan Unmul—kini menjabat Kepala UPT. Perkasa, dalam wawancaranya kepada SketsaMaret 2016 mengatakan sedang berusaha mengumpulkan buku-buku yang bisa digunakan kaum difabel.

Pihaknya kala itu sudah menyurati instansi terkait, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial untuk menyumbangkan buku dengan tulisan braille

Unis saat itu berpandangan Unmul harus sudah melek dengan fasilitas kaum difabel. Tidak mesti menunggu datangnya mahasiswa difabel dulu baru mulai menyediakan fasilitas, tetapi sediakan fasilitas dulu agar kaum difabel tak sungkan untuk belajar.

Menurut Supadi, hingga saat ini pengunjung disabilitas masih terbilang sedikit. Kalaupun ada mahasiswa difabel, umumnya mereka masih mampu untuk berjalan hingga ke lantai 2. Benar saja Ade Giovani, mahasiswa 2016 dari Teknik Elektro dan seorang penyandang disabilitas malah baru mengetahui adanya ruang baca khusus ini.

Gio tak tahu karena hal seperti ini entah disosialisasikan sampai fakultas atau tidak. Namun soal sebenarnya adalah sulit untuk menyangkal jika fasilitas bagi difabel di Unmul masih amat kurang. Terutama di fakultas tempat Gio bernaung yaitu Fakultas Teknik yang tak memberikan aksesbilitas bagi penyandang disabilitas, seperti tangga landai atau toilet khusus.

Gio bercerita seorang kawannya yang difabel di bagian kaki.

Itu mungkin bisa dibikinkan kayak jalan khusus buat dia masuk. Ada sebagian jalan yang berlubang, ada tangga. Nah kalau saya lihat teman saya yang kakinya itu, dia agak kesulitan. Pelan gitu,” jelas Gio.

Penyandang disabilitas seperti Gio membutuhkan dukungan dari universitas. Jika fasilitas tidak bisa disediakan, kebutuhan lainnya adalah beasiswa bagi penyandang disabilitas. Hal mengenai beasiswa ini tertuang dalam Permenristekdikti No. 46 Tahun 2017 tentang Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus di Perguruan Tinggi. Permen ini, tulis Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Intan Ahmad dimaksudkan agar para mahasiswa disabilitas dapat memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya, sehingga kaum difabel dapat belajar dan mencapai prestasi akademik yang optimal.

Kepala Hukum Tata Laksana, Sugiarta mengakui terkait tidak adanya arahan khusus ke fakultas untuk menyediakan fasilitas disabilitas. Menurutnya, itu lebih kepada kesadaran dan kewajiban masing-masing fakultas.

Pada kenyataaannya rektorat pun tidak jauh beda dengan fakultas. Hanya ada satu ram yang ditaruh di pintu masuk gedung belakang. Ram itu akan mengantarkan para penyandang disabilitas ke elevator yang telah lama rusak.

“Oh, itu mau diperbaiki, sudah ada anggarannya,” kilah Sugiarta.

Ia mengklaim sudah ada teknisi yang bekerja memperbaiki lift. Lift rektorat terakhir beroperasi, menurut Sugiarta, pada 2017 awal. Ketika itu lift rusak karena mahasiswa yang memakainya terjebak setelah mati listrik. Sebab mahasiswa itu panik jadi akhirnya dicungkil.

Sugiarta mengatakan sejak dulu hingga sekarang Unmul selalu terbuka menerima mahasiswa disabilitas. Cuma permasalahannya tidak ada pelajar difabel yang mendaftar ke Unmul. Seperti ada yang belum berjalan sampai ke batas, berlayar sampai ke pulau. (wal/ann/ycp/sii/gia/aml)



Kolom Komentar

Share this article